I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pembangunan
ekonomi memegang peranan penting bagi tiap negara, terutama untuk keadilan dan
kesejahteraan bagi masyarakat di negara-negara miskin atau negara yang sedang
berkembang, sehingga dalam menyejahterakan masyarakat perlu pendekatan baik
secara ekonomi maupun sosial budaya yang melibatkan lingkungan. Konsep
pembangunan secara luas, sebagai proses perbaikan yang berkesinambungan dari
suatu masyarakat atau sistem sosial secara keseluruhan menuju kehidupan yang
lebih baik, atau lebih manusiawi. Negara memiliki peran dalam menyejahterakan
penduduknya dengan mendorong pertumbuhan ekonomi dan memberikan lapangan
pekerjaan guna mengurangi pengangguran, dengan demikian masyarakat akan dimampukan mencukupi
kebutuhannya melalui peningkatan PDB perkapita sebagai pengukuran daya beli
yang mereka miliki.
Pertumbuhan
ekonomi di era keterbukaan atau globalisasi yang sarat dengan kompetisi antar
negara dan akan dipengaruhi oleh
masalah-masalah makro ekonomi, baik pada tingkat permintaan agregat (aggregate demand) terdiri dari
pengeluaran agregat : konsumsi
masyarakat, investasi, pengeluaran pemerintah maupun ekspor netto. Juga oleh
penawaran agregat (aggregate supply)
yang berupa siklus bisnis, inflasi, resesi (jangka pendek), perkembangan
output dan standar kehidupan manusia (jangka panjang), oleh karenanya dalam
menjaga pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan diperlukan pengawasan,
penerapan kebijakan makro bidang
moneter terutama stabilitas inflasi, nilai tukar, dan
stabilitas harga barang-barang dan jasa, dibarengi dengan penerapan kebijakan
fiskal yang pro pertumbuhan berkesinambungan (Samuelson dan
Nordhaus : 2004). Pembangunan ekonomi tidak terlepas dari pengukuran suatu
parameter keberhasilan menyejahterakan rakyatnya antara lain melalui penyediaan
lapangan pekerjaan, mengurangi pengangguran untuk tujuan peningkatan daya beli
masyarakat, dengan meningkatkan pendapatan perkapita secara terus menerus dan
berkesinambungan dalam jangka panjang.
Faktor inflasi merupakan bagian dari masalah
makro mendapatkan perhatian besar dalam pembangunan ekonomi suatu negara, peran
otoritas moneter sangat penting dalam pengawasan dan pengendalian angka
inflasi, sebab inflasi yang tinggi secara tidak langsung dapat memperlambat
pertumbuhan ekonominya, hal ini akan selalu dihadapi oleh negara-negara yang
sedang berkembang, apalagi negara sedang mengalami konflik atau perang, pada
akhirnya akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi dan daya beli masyarakatnya. Inflasi yang
timbul baik akibat aktivitas ekonomi, permintaan agregat atau penawaran agregat
harus tetap dikendalikan oleh para pemangku kebijakan dalam sebuah negara.W.I.M.
Poli (2010, hal. 254) mengatakan, menurut Friedman pemerintah seharusnya
mengandalkan kebijakan moneter bukan hanya kebijakan fiskal, yaitu :
mengendalikan uang yang beredar untuk mengatasi inflasi, gejolak demo buruh,
kesempatan kerja dan pendapatan nasional, artinya jika pemerintah meningkatkan
jumlah uang yang beredar yang sama dengan kenaikan pendapatan nasional riil,
maka inflasi dapat ditiadakan dan kondisi seperti ini juga tidak baik,
sebaliknya inflasi moderat justru akan menggairahkan iklim investasi.
Goldman
Sachs memformulasikan 11 negara yang akan prospektif untuk tujuan investasi,
yaitu mengikuti prospek BRIC (Brazil, Rusia, India dan China), mereka merupakan
kelompok “The Next-11” yang terdiri
dari : Bangladesh, Mesir, Indonesia, Iran, Meksiko, Nigeria, Pakistan,
Filipina, Korea Selatan, Turki dan Vietnam. Salah satu indikator makro ekonomi
yang menjadi pertimbangan “growth
evironment score (GES) Index
adalah : Inflasi. (Chatib Basri, dkk, 2012, hal. 40).
Data tentang
inflasi dunia dikeluarkan BI oleh Bloomberg (2013),
laju inflasi dikelompokkan dalam
beberapa katagori:
1.
Negara Industri Utama (Amerika Serikat, Zona Euro,
Jerman, Prancis, Italia, Jepang, Inggris, dan Kanada), pada periode 2008 hingga
2012 rata-rata inflasi dibawah 5 persen.
2.
Beberapa Negara Eropa Lainnya (Rusia dan Turki)
rata-rata inflasi 6 persen sampai dengan 7 persen.
3.
Asia (RRC, Korea Selatan, Hongkong, Taiwan, India) dan
India yang memiliki inflasi antara 10 persen sampai dengan 11 persen.
4.
Negara Asean -5 (Indonesia, Malaysia, Filipina,
Singapura dan Thailand) dan Indonesia tiga tahun terakhir lebih tinggi dari
yang lain antara 6 sampai dengan 8,7 persen.
5.
Australia : Inflasi terkendali rata-rata dibawah 4
persen.
6.
Negara-negara Amerika Tengah dan Selatan (Argentina,
Brazil, Mexico) dan Argentina memiliki laju inflasi lebih besar dari 10 persen.
7.
Afrika Selatan : laju inflasinya 3,5 persen sampai
dengan 6 persen.
Negara-negara
tersebut terus melakukan penekanan laju inlasi pada tingkat moderat antara 4
persen s/d 5 persen.
Di Asean
sendiri angka inflasi berfluktuatif di masing-masing negara, berikut ini
perbandingan angka inflasi antara Indonesia, Singapura, Malaysia dan Thailand
adalah (Asean – 5):
Tabel 1.1
Inflasi
Negara Asean
Tahun
2003-2013
Tahun
|
Indonesia
|
Singapura
|
Malaysia
|
Thailand
|
2003
|
5,06
|
0,10
|
0,01
|
0,56
|
2004
|
6,40
|
1,66
|
1,52
|
1,04
|
2005
|
17,11
|
0,10
|
3,03
|
1,51
|
2006
|
6,60
|
1,20
|
3,61
|
1,53
|
2007
|
6,59
|
2,10
|
2,03
|
0,82
|
2008
|
11,06
|
6,51
|
5,44
|
1,69
|
2009
|
2,78
|
0,10
|
0,01
|
3,50
|
2010
|
6,96
|
1,80
|
1,00
|
1,28
|
2011
|
3,79
|
5,24
|
3,17
|
1,27
|
2012
|
4,30
|
5,50
|
3,00
|
3,60
|
2013
|
8,33
|
2,13
|
2,76
|
2,30
|
Sumber : BI : Bloomberg(2013).
Indonesia mengalami inflasi tinggi sebesar 77,63
persen pada tahun 1998, pasca krisis ekonomi yang menimbulkan gejolak sosial
(BPS: 2000). Data inflasi Asean sepuluh tahun terakhir menunjukkan, bahwa
Indonesia masih memiliki tingkat inflasi lebih tinggi dibandingkan Singapura,
Malaysia, Thailand, namun masih pada tahap moderat berkisar antara 5 persen s/d
8 persen, akan berpengaruh terhadap masuknya investasi asing langsung (FDI),
dan inflasi tersebut berpengaruh langsung terhadap penurunan daya beli masyarakat di Indonesia.
Indonesia dalam mengatasi kesulitan makro ekonomi
seperti inflasi dan lain-lain, maka dalam rangka
mewujudkan sistem perekonomian yang menyejahterakan rakyat sesuai amanat UUD’45
pasal 33, Permerintah Indonesia dan Otoritas Moneter yaitu Bank Indonesia
bersinergi melalui penetapan kebijakan-kebijakan yang saling mendukung dalam
menjaga stabilitas makro ekonomi, termasuk kebijakan moneter oleh BI dalam
menentukan target inflasi yang tepat (Inflation
targeting). Menurut UU No. 23 Tahun 1999 tentang “Bank Indonesia” dalam
menetapkan tingkat target inflasi yang ideal, maka disebutlah istilah Inflation Targeting Framework (ITF).
Pendapat Aulia Pohan (2008, hal. 196) bahwa dalam melaksanakan kebijakan
moneter, Bank Indonesia diwajibkan untuk menentukan sasaran inflasi setiap
tahun kalender, artinya kebijakan moneter yang digariskan dalam UU Bank
Inonesia, implisit telah menunjukkan bahwa kebijakan moneter BI menggunakan inflation targeting framwork, sebagai
kerangka kebijakannya.
Inflasi (demand pull inflation) yang terjadi
di Indonesia dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor antara lain :
1.
Jumlah Uang Beredar, kenaikan jumlah uang beredar akan
menyebabkan inflasi, sehingga diikuti kenaikan harga barang-barang dan jasa.
2. Setiap
terjadi pengurangan subsidi BBM (Bahan Bakar Minyak) kepada masyarakat berupa
kenaikan harga BBM khusus nya jenis premium, disebabkan pengguna jenis BBM ini
di Indonesia terus bertambah.
3.
Tambahan investasi untuk
pengeluaran pemerintah berupa infrastruktur fasilitas publik yang terhenti
menyebabkan ICOR meningkat, karena
banyak kebocoran-kebocoran seperti gedung olah raga Wisma Atlet Palembang, dan
proyek Hambalang, menyebabkan kenaikan inflasi.
Inflasi karena tekanan biaya (cost push inflation) dapat
terjadi karena beberapa faktor :
1. Kurs, nilai
tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat yang makin merosot mempengaruhi
komposisi ongkos input makin mahal, hal ini disebabkan bahan baku industri nasional
sebagian besar impor dari luar negeri, ditambah rupiah merosot tajam hingga
Rp.12.200,- per dolar Amerika Serikat sepanjang
semester dua hingga akhir tahun 2013,
menyebabkan permintaan rupiah meningkat tajam mengakibatkan
kenaikan harga pokok produksi, menyebabkan kenaikan harga barang.
2. Suku bunga
kredit, faktor ini sangat mempengaruhi struktur kalkulasi harga pokok produksi
nasional, dan banyak dikeluhkan oleh semua pelaku usaha di Indonesia karena
bunga kredit mahal dan sangat memberatkan operasionalnya, ketika Bank Indonesia
menaikkan suku bunga pinjaman, maka biaya
tersebut akan dibebankan pemasok bahan mentah dan alat-alat produksi kepada
industri pengolahan. Industri pengolahan karena tekanan harga pokok produksi,
maka akan menaikkan harga barang dipasaran dan menimbulkan inflasi.
3. Terms of trade (TOT), rendahnya TOT dan tidak efesien
artinya nilai impor (khususnya
migas) lebih besar
dari nilai ekspornya, menyebabkan neraca perdagangan Indonesia
secara total terus defisit, akibatnya dibutuhkan jumlah uang saat kewajiban
impor jatuh tempo mengakibatkan
inflasi.
Indonesia memiliki tingkat inflasi moderat yaitu
antara 5 – 8 persen, sehingga masih diminati oleh para investor asing untuk
menanamkan modalnya secara langsung (FDI) ke negeri ini. Menurut Undang-undang
No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, definisi PMA pada pasal 1 ayat 6
adalah : perseorangan warga negara asing, badan usaha asing dan/atau
pemerintahan asing yang melakukan penanaman modal diwilayah RI penjelasan ini
mengatakan bahwa diberikan kesempatan kepada pihak asing menanamkan modal di
Indonesia bisa perseorangan warga negara asing artinya perseorangan asing
diizinkan berusaha dibidang penanaman modal asing tetapi wajib dalam bentuk
badan usaha Indonesia (PT) berdasarkan UU No. 40 Tahun 2007 tentang perseroaan.
Apabila tidak dalam bentuk badan hukum perseroan, pihak asing
tidak diperbolehkan melakukan usahanya di Indonesia.
Indonesia sebagai bagian dari “The Next-11” menjadi tempat yang paling menjanjikan dalam hal
investasi. Dalam World Investment Report
2012 yang dikeluarkan oleh UNCTAD (United
Nations Confrence on Trade and Development) menunjukkan,
China akan mengungguli Amerika Serikat sebagai negara tujuan investasi asing
langsung (Foreign Direct Investment/FDI)
hingga tahun 2013. Indonesia akan mengungguli Australia dan Jerman pada periode
yang sama. (Chatib Basri, dkk. 2012, hal 41).
Tabel 1.2
Investasi
Asing Langsung (FDI) Asean
(Dalam
Milyar USD) Tahun 2003 - 2013
Tahun
|
Indonesia
|
Singapura
|
Malaysia
|
Thailand
|
2003
|
-596,92
|
11,941.30
|
2,473.16
|
5,232.27
|
2004
|
1,896.08
|
21,026.00
|
4,624.21
|
5,860.26
|
2005
|
8,336.26
|
15,459.60
|
3,966.01
|
8,055.35
|
2006
|
4,914.20
|
29,347.90
|
6,076.12
|
9,454.93
|
2007
|
6,928.48
|
37,032.90
|
8,590.19
|
11,326.90
|
2008
|
9,318.45
|
8,588.19
|
7,375.91
|
8,538.34
|
2009
|
4,877.37
|
15,278.60
|
1,387.39
|
4,853.96
|
2010
|
13,770.60
|
38,638.10
|
9,167.20
|
9,678.89
|
2011
|
18,159.50
|
9,599.10
|
11,700.00
|
1,576.76
|
2012
|
28,472.73
|
30,030.00
|
11,920.00
|
5,159.00
|
2013
|
24,145.54
|
44,500.00
|
5,875.00
|
3,300.00
|
Sumber : BKPM (2013)
Tabel 1.2 menjelaskan bahwa Indonesia masih merupakan
negara tujuan investasi para investor
luar negeri dan menduduki urutan ke dua setelah Singapura.
Inflasi moderat tidak menjadikan
masalah para pemodal asing untuk menanamkan modalnya (FDI) di Indonesia,
terutama menjelang berlakunya Ekonomi Masyarakat Asean (AEC 2015), setiap
negara anggota akan meningkatkan daya saingnya dan menjaga inflasi tetap rendah
untuk menarik FDI negara lain. Hal ini ditegaskan Badan
Standardisasi Perdagangan, Kementrian Perdagangan Indonesia 2013 dihadiri
delegasi Asean, pada seminar nasional dengan tema “Indonesia Menuju Masyarakat
Ekonomi Asean : Meningkatkan Daya saing Dalam
Pasar Bersama Asean” menekankan perlunya efisiensi dan meningkatkan ekspor,
sehingga Indonesia diharapkan menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Fakta
dilapangan kenyataannya peningkatan Investasi Asing Langsung Indonesia tidak
menurunkan jumlah pengangguran terbuka, karena penanaman modal asing tersebut
berupa padat modal seperti mesin-mesin otomatis dan pemanfaatan tenaga kerja (outsourching) yang sering diprotes oleh
Serikat Pekerja sepuluh tahun terakhir ini. Penyebab lainnya beralihnya pekerja
tetap yang terkena PHK akibat otomatisasi, beralih profesi dari buruh menjadi PKL
(Pedagang Kaki Lima) yang pada saat sekarang tidak terdaftar lagi menjadi
tenaga kerja di Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI.
Indonesia
negara agraris memiliki kekayaan alam yang melimpah, namun ironis mengalami
keterbatasan cadangan pangan untuk keperluan konsumsi nasional karena
infrastruktur daerah buruk. Contoh kelangkaan terjadi pada komoditas kedelai,
cabai, garam, daging sapi, bawang merah, bawang putih dan lain-lain jenis bahan
makanan, akibatnya harga dipasaran melambung hingga 80 persen disebabkan
permintaan agregat naik, dan perlu tambahan jumlah uang untuk membayar hutang
luar negeri karena barang-barang tersebut harus diimpor, menyebabakan inflasi
pada th 2011 hingga
2013. Kelangkaan cadangan minyak dunia yang diakibatkan pertikaian di Timur
Tengah, menyebabkan naiknya harga minyak di pasaran dunia, menyebabkan kenaikan
BBM yang harus diimpor, dan setiap kali pemerintah mengurangi subsidi pada BBM
menyebabkan demand pull inflation.
Jenis
inflasi yang timbul karena penawaran agregat, diikuti biaya produksi tinggi
disebabkan kenaikan suku bunga kredit oleh BI, dan kenaikan nilai tukar Kurs
rupiah terhadap dolar AS, mengakibatkan kuantitas produksi menurun, dan
mendorong naiknya harga-harga barang di pasar,
keadaan ini menyebabkan cost push inflation.
Di Indonesia
inflasi terus dikendalikan dan dipertahankan dibawah angka psikologis 10
persen, untuk meningkatkan daya beli masyarakat yang semakin
menurun pertumbuhannya, hal ini tercermin dari menurunnya persentasi perubahan
PDB terhadap jumlah penduduk Indonesia beberapa tahun terakhir ini.
Berdasarkan uraian diatas
penelitian ini perlu dilakukan untuk menganalisis dan mengkaji, seberapa besar
pengaruh faktor-faktor Inflasi terhadap Investasi asing langsung, dan
pengangguran serta dampaknya kepada Daya beli masyarakat di Indonesia.
B.
Identifikasi
Masalah
Sesuai dengan latar belakang masalah yang diuraikan
pada bagian pendahuluan, maka masalah-masalah
yang diteliti dapat diidentifikasikan, sebagai
berikut :
Inflasi
merupakan gejala sosial yang memengaruhi stabilitas harga-harga barang dan
jasa, yang harus dikendalikan Otoritas moneter. Inflasi di Indonesia sangat
dipengaruhi oleh kenaikan permintaan konsumsi bahan makanan, belanja
pemerintah, Investasi, kegiatan ekspor impor (agregat demand) dan bahan
baku barang modal impor, Kurs, Upah buruh dll input cost untuk aktivitas produksi (agregat
supply). Tiga tahun terakhir angka inflasi mulai naik, kemungkinan
disebabkan oleh beberapa faktor sebagai berikut:
1. Jumlah Uang Beredar
Jumlah uang beredar dari tahun ke tahun
mengalami peningkatan, dan cenderung diatas dua digit, namun ironis inflasi di
Indonesia justru menurun Hal ini bisa
terjadi karena M2 beberapa tahun terakhir berupa uang quasi dalam
bentuk tabungan, deposito berjangka dalam dolar AS dan mata uang asing lainnya.
2. Harga BBM
Indonesia saat ini sangat tergantung
impor BBM dari luar negeri, diperparah
cadangan minyak dunia semakin berkurang, sehingga harga menjadi mahal, maka
Pemerintah harus mengurangi subsidi BBM dengan menaikkan harga BBM, akibatnya
harga-harga barang dan jasa akan naik secara terus menerus dan tidak bisa turun
lagi.
3. ICOR
ICOR (Incremental Capital Output Ratio), tambahan investasi yang tidak dipergunakan
semestinya mencatat ICOR meningkat. Hal ini terjadi 5 tahun terakhir banyaknya
korupsi dan kebocoran dana investasi mengakibatkan banyak fasilitas publik yang
mandeg seperti Hambalang, Mega proyek jalan non tol DKI menunjukkan ICOR
tinggi, dan pertumbuhan ekonomi juga melambat.
4. Suku Bunga Kredit
Ketika Bank Indonesia melakukan
pengetatan terhadap uang beredar, seperti beberapa tahun terakhir, maka langkah
yang dilakukan dengan meningkatkan suku bunga BI. Efek dari kebijakan suku
bunga kredit yang naik akan membebani biaya operasional industri yang
mengakibatkan tidak efisien, sehingga industri akan menaikan harga barang-barang
dan jasa di Pasaran.
5. Kurs
Merosotnya nilai tukar rupiah
terhadap dolar Amerika Serikat, sangat memukul industri, diketahui bahwa 70 %
bahan baku dan barang modal di impor dari luar negeri, maka untuk kasus
Indonesia setiap terjadi kemerosotan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika
Serikat tersebut, akan membebani harga
pokok produksi, otomatis jumlah kuantitas produksi menurun, pada akhirnya
mendorong kenaikan harga-harga barang dan jasa.
6.
Terms of Trade
Terms of
Trade pada beberapa tahun terakhir mengalami penurunan, hal ini menunjukan bahwa
nilai ekspor non migas Indonesia meningkat tetapi tidak sebanding dengan
peningkatan impor migas yang dewasa ini cadangannya semakin menurun, sehingga
harga beli menjadi mahal menyebabkan neraca perdagangan defisit, dan menurunkan
daya saing karena harga-harga barang yang diekspor menjadi tidak kompetitif.
Inflasi yang terkendali akan menarik
Investasi Asing Langsung. Di Indonesia 4 tahun terakhir FDI meningkat, bahkan
kedepan menyambut Masyarakat Ekonomi Asean (MEA-2015), memiliki peluang
mengalahkan Australia, walaupun Indonesia memiliki tingkat inflasi yang naik
turun, namun terkendali dibawah 8,5 persen, masih
menarik aliran dana investasi
asing masuk ke Indonesia, hanya disayangkan penyerapan tenaga kerja berkurang
dan menimbulkan pengangguran semu, dimana yang terkena PHK beralih profesi
menjadi Pegadang Kaki Lima (PKL), hal ini disebabkan investasi yang masuk berupa padat modal, seperti
mesin-mesin otomatis.
Pengangguran
di Indonesia menunjukan tren menurun, artinya ada perbaikan selama 5 tahun
terakhir namun masih stagnan dan persentasenya semakin berkurang, disebabkan
karena PHK dan beralih dari tenaga tetap menjadi tenaga kontrak (outsourcing) atau PKL seperti yang
diuraikan di atas yang tidak terdaftar pada data BPS maupun Kementrian Tenaga
Kerja dan Transmigrasi.
Daya beli masyarakat di Indonesia
yang diukur dari PDB perkapita, cenderung meningkat dari tahun ketahun, namun
beberapa tahun terakhir pertumbuhannya menurun, disebabkan kenaikan harga-harga
barang dan jasa yang semakin mahal karena baik bahan kebutuhan konsumsi, maupun
bahan baku industri didatangkan melalui impor, sedangkan nilai rupiah terus
menerus merosot. Pendapatan perkapita adalah indikator kesejahteraan
masyarakat yang sangat penting untuk kelangsungan hidup tiap warga negara,
sehingga setiap terjadi kenaikan inflasi yang signifikan, maka yang pertama
terkena adalah daya beli masyarakat berpenghasilan tetap atau para pensiunan.
C.
Pembatasan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah dan faktor-faktor yang telah diidentifikasi, maka
pembatasan masalah penelitian ini, hanya meliputi variabel-variabel:
1.Jumlah
uang beredar adalah M2 (uang kartal, uang
giral, simpanan tabungan dan deposito berjangka), Harga BBM Premium bersubsidi,
ICOR, Suku Bunga Kredit Modal Kerja (KMK), Kurs Rupiah terhadap USD, Terms of trade perbandingan nilai ekspor
terhadap nilai impor.
2.Pengaruh
Inflasi hanya terhadap Investasi asing langsung.
3.Pengaruh
Inflasi hanya terhadap Pengangguran
4.Dampak
Inflasi, Investasi Asing Langsung, dan Pengangguran hanya kepada Daya Beli
Masyarakat (PDB / jumlah penduduk) di Indonesia.
Penelitian
ini hanya didasarkan pada data tahunan runtut waktu (time series) selama
32 tahun, yaitu tahun 1982 s/d tahun 2013. Sumber data diperoleh dari data
sekunder yang dikeluarkan oleh BI,
BPS, BKPM, Bappenas, dan Kementrian Tenaga Kerja & Transmigrasi RI di Jakarta.
D.
Perumusan
Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah dan pembatasan
masalah yang ditetapkan diatas, maka perumusan
masalah dalam penelitian
ini adalah :
1. Bagaimanakah
pengaruh faktor-faktor : Jumlah
Uang beredar M2, Harga BBM, ICOR, Suku
Bunga Kredit, Kurs dan Terms of Trade secara simultan dan parsial terhadap Inflasi di Indonesia?
2. Bagaimanakah
pengaruh Inflasi terhadap Investasi Asing Langsung di
Indonesia?
3. Bagaimanakah
pengaruh Inflasi terhadap Pengangguran di Indonesia?
4. Bagaimanakah
pengaruh Inflasi, Investasi Asing Langsung, dan
5. Pengangguran secara simultan dan parsial terhadap Daya beli masyarakat di
Indonesia?
E.
Tujuan
Penelitian
Berdasarkan
perumusan masalah tersebut diatas, maka tujuan penelitian ini ditetapkan
sebagai berikut :
1.Untuk mengkaji dan menganalisis pengaruh faktor-faktor : Jumlah
uang beredar M2, Harga BBM, ICOR, Suku bunga kredit, Kurs, dan Terms of Trade secara simultan dan
parsial, terhadap Inflasi di Indonesia.
2.Untuk mengkaji dan menganalisis
pengaruh Inflasi terhadap Investasi Asing Langsung di Indonesia
3.Untuk mengkaji dan menganalisis
pengaruh Inflasi terhadap Pengangguran
di Indonesia.
4.Untuk
mengkaji dan menganalisis pengaruh Inflasi, Investasi asing langsung, dan
Pengangguran secara simultan dan parsial, terhadap Daya beli masyarakat di
Indonesia.
F.
Kegunaan
Penelitian
Hasil penelitian ini pada masa
mendatang diharapkan bermanfaat :
1.
Secara akademik, memberikan kontribusi dalam
pengembangan Ilmu Ekonomi yang berkaitan dengan teori Inflasi, Ekonomi
Pembangunan dan Investasi. Inflasi sebagai indikator makro ekonomi, yang
ditandai dengan kenaikan harga barang-barang dan jasa secara terus menerus,
yang dapat mempengaruhi masuknya investasi asing langsung dan pengangguran
serta dampaknya terhadap daya beli masyarakat di Indonesia.
2.
Untuk Praktisi, sebagai bahan masukan kepada para
pemangku kebijakan dalam hal ini Kementrian-kementrian dibawah koordinator
Menteri Perekonomian, dan Otoritas Moneter (BI), agar lebih
hati-hati dalam menjaga stabilitas harga barang-barang dan jasa, dibutuhkan
sinergisitas dalam menangani
kelangkaan bahan dan barang. Sehingga dapat menciptakan iklim investasi yang
kondusif dan efisien maka harga pokok output riil rendah, sehingga
meningkatkan daya saing nasional. Dengan demikian mampu menciptakan stabilitas
makro ekonomi untuk mendorong masuknya investasi asing langsung, mengurangi
pengangguran, dan meningkatkan daya beli masyarakat di Indonesia.
3.
Untuk Peneliti berikutnya, sebagai bahan pembanding
dan masukan dalam mengembangkan masalah penelitian, tentang faktor-faktor
yang mempengaruhi inflasi, dan pengaruhnya terhadap FDI, pengangguran serta
dampaknya kepada daya beli
masyarakat di Indonesia.
No comments:
Post a Comment