Selasa, 19 Maret 2013
|
CAFTA dan Kerisauan ASEAN 2015
Oleh Francisca Sestri G
Selasa, 19 Maret 2013
Oleh Francisca Sestri G
Selasa, 19 Maret 2013
Usai rapat dengan Komisi VI
DPR, Aliansi 9 Asosiasi Industri dan Perdagangan melakukan pembahasan tentang
persiapan pemberlakuan CAFTA (China ASEAN Forum Free Trade Area) di Kemenko
Perekonomian tahun 2007. Dalam kesempatan itu, Aliansi 9 Asosiasi itu
mengemukakan hasil kajiannya bahwa dampak pemberlakuan perdagangan bebas di
kawasan China-ASEAN lebih banyak negatifnya daripada positifnya.
Aliansi 9 Asosiasi Industri
dan Perdagangan terdiri dari APPSI (Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia),
AP3MI (Asosiasi Pengusaha Pemasok Pasar Modern Indonesia), Aprogakob (Asosiasi
Produsen Garam Konsumsi Beryodium), APGAI (Asosiasi Pemasok Garmen Aksesoris
Indonesia), Asrim (Asosiasi Industri Minuman Ringan), Gabel (Gabungan Industri
Elektronik Indonesia), Nampa (Asosiasi Industri Pengolahan Daging Indonesia)
dan PPA-KI (Perhimpunan Perusahaan dan Asosiasi Kosmetika Indonesia).
Oleh sebab itu, pada
prinsipnya Aliansi 9 Asosiasi menolak pemberlakuan CAFTA tahun 2010, karena
Indonesia dikawatirkan akan terjepit di antara anggota ASEAN dan China yang
kemajuan ekonominya luar biasa. Pertumbuhan ekonomi China saat itu menembus
11,2% dengan cadangan devisa mencapai 1,42 triliun dolar AS. Artinya, China
telah menjadi tiga besar pemain dunia setelah Amerika dan Jepang.
Sedangkan Indonesia
mengalami pertumbuhan ekonomi sebesar 6,3% dengan cadangan devisa 56,9 miliar
dolar AS. (IQ Plus dan BPS, 2007) Dari segi efisiensi dan teknologi, China
adalah paling siap melakukan pembenahan dan perbaikan menjelang pemberlakuan
CAFTA, dibandingkan dengan Indonesia, terutama ekspor-impor non migas.
Analisis terkait dominasi
China mulai menggeliat dan sulit dibendung tampak dari distribusi ekspornya,
tidak hanya di kawasan ASEAN, namun juga menyebar ke seluruh dunia, baik pasar
Eropa maupun Jepang dan AS. Hasil survei pasar terhadap pakaian, tekstil,
mainan anak-anak dan asesoris serta obat-obatan tradisional menemukan banyak
barang berlabel made in China.
Tahun 2012 pertumbuhan
ekonomi China 7,6% atau menurun drastis dibandingkan tahun 2007 karena sengaja
direm dan ditekan oleh beberapa negara maju. Yang mencengangkan, cadangan
devisanya justru melesat hampir tiga kali lipat menjadi 3,31 triliun dolar AS.
Bandingkan dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia (berkisar 6,23%) dengan
cadangan devisa 112,781 miliar dolar AS atau naik 2 kali lipat dibanding tahun
2007. Volumenya memang jauh dibanding China, bahkan awal 2013 diperkirakan
menurun.
Artinya, dari permulaan
sebelum perdagangan bebas kawasan ditandatangani, China sudah mempersiapkan
diri menurut patron konsep liberalisasi yang benar. Hal ini bisa terjadi karena
biaya produksi di negara Tirai Bambu ini sangat efisien. Pemerintah China pun
sangat serius memberikan angin iklim investasi dengan birokrasi yang cepat
untuk investor dalam negeri.
Dengan demikian, produk unggulan yang diekspor sesuai konsep
perdagangan bebas, memiliki harga kompetitif bahkan lebih murah dari negara
mana pun. Sebaliknya produk negara-negara lain, apabila mau ekspor ke China,
banyak peraturan yang diberlakukan sebagai bentuk perlindungan terhadap
negaranya. Tentu hal macam ini wajar.
Namun, Indonesia justru
memiliki kelemahan di sini, khususnya dalam melindungi usaha produk dalam
negerinya. Pemerintah RI tidak mendorong tumbuhnya industri olahan usaha kecil
dan menengah (UKM), namun malah menggalakkan impor besar-besaran. Buktinya,
bukan hanya produk elektronik dan pakaian jadi, tetapi bawang putih saja impor.
Khusus bawang putih sempat langka, karena impor terhambat beberapa hari di
pelabuhan.
Makin rusaknya tata niaga
impor karena masing-masing kementerian memiliki keleluasaan dan otonomi
sendiri-sendiri, sehingga sulit dikontrol dan bahkan timbul biaya tinggi di
sana-sini, antara lain karena korupsi. Akibat lebih jauh, industri olahan dalam
negeri semakin tidak terurus.
Pasca perdagangan bebas
kawasan ASEAN-China, kinerja perdagangan Indonesia-China menunjukan hal yang
kurang menggembirakan. Neraca Perdagangan RI-China tahun 2011 defisit 3,27 juta
dolar AS dan tahun 2012 defisit 1,6 miliar dolar AS. Dari data BPS yang diolah
oleh Kementerian Perdagangan 2013, hal ini terjadi, konon, karena faktor migas
yang semula positif menjadi defisit.
Melihat fakta yang terjadi,
defisit neraca perdagangan - sebagai indikator kinerja perdagangan -
China-Indonesia, dari tahun ke tahun semakin besar. Cadangan devisa China kian
melaju jauh di depan, sementara Indonesia terkesan kian ketinggalan.
Dengan fakta ini, tidak ada
salahnya, para pemangku kekuasaan dan kementerian terkait perlu melakukan lobi
dan renegosiasi ulang dengan China khususnya. Ini penting mengingat tahun 2015
akan berlaku perdagangan bebas termasuk SDM di kawasan ASEAN. Artinya, apabila
tidak siap, Negara Indonesia yang luas dan subur dengan jumlah penduduk cukup
besar akan menjadi pasar tujuan ekspor negara-negara ASEAN lainnya.
Mengalirnya bahan baku,
barang jadi dengan BM nol rupiah dan serbuan tenaga kerja tingkat manajer yang
kompetitif dengan skill dan keuletan yang lebih dibandingkan Philipina dam
Singapura, akan bebas hambatan. Bahkan tenaga kerja level manajer ke atas dari
India yang bukan kawasan ASEAN pun sudah masuk rekrutmen perusahaan-perusahan
besar Indonesia. Ini tentu sangat merisaukan. Oleh sebab itu, mumpung masih ada
waktu, wahai kementerian terkait, berikan dukungan kemudahan birokrasi,
infrastruktur, perizinan untuk industri pengolahan dalam negeri. Hindari
pemberlakuan peraturan yang aneh-aneh tetapi tidak substansif mendorong
industri nasional yang berproduksi di dalam negeri, mampu bersaing dan
meningkatkan ekspor. ***
Penulis
adalah GM Finance PT Mustika Ratu Tbk,
mahasiswa S3 Unbor Jakarta.
mahasiswa S3 Unbor Jakarta.
http://www.suarakarya-online.com/news.html?category_name=Opini
No comments:
Post a Comment