Diterbitkan Harian Suara Karya, Tanggal 6 Desember 2012
Opini Oleh: Francisca Sestri. Mahasiswa S3 di Unbor Jakarta.
Hiruk pikuk para
politisi sudah mulai dengan sepak terjang mereka terutama yang menjabat di
pemerintahan ikut menambah masalah perburuhan terutama terkait upah buruh.
Menjelang pemilihan umum (pemilu) 2014 politikus maupun partainya berupaya
meningkatkan kemampuan mengantongi suara rakyat, termasuk melalui aksi buruh yang
meminta kenaikan upah. Semua ingin menyenangkan hati buruh.
Kelihatan sekali dalam
demo buruh akhir-akhir ini, keputusan sepihak pemerintah dalam hal ini
Kementerian Tenagakerja dan Transmigrasi bersama perwakilan yang
mengatasnamakan buruh, malah memicu kemarahan dunia usaha.
Karena alasan demo
atas nama Lembaga Swadaya Masyarakat, buruh berlarut-larut bahkan sampai ikut
memprovokasi buruh lain, me-lakukan berbagai aksi demo. Mereka malahan
menggedor pintu pabrik, berteriak-teriak menuntut kenaikan upah yang tidak
rasional.
Dalam situasi seperti
itu, negara benar-benar kelihatan absen demi politik yang irasional. Lapangan
kerja terbatas, pasar tenaga kerja dari lulusan sarjana (S1) pun berlebih,
namun kaum buruh malah menuntut kenaikan upah minimum provinsi (UMP) lebih
dari 25 persen (?) dan pertumbuhan beberapa industri olahan tidak lebih dari
15 persen (Sambutan Menteri Perindustrian 16 Oktober 2012 Pembukaan Pameran
Nasional Obat Tradisional).
Menteri Muhaimin
Is-kandar juga sebagai ketua umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) memutuskan
UMP tahun 2013, menjelang pemilu ada yang naik 25-70 persen seperti, Kota
Bekasi menjadi Rp 2.100.000 naik 47,65 persn, Kota Depok menjadi 2.042.000,
atau naik 43,40 persen, Kabupaten Bogor menjadi Rp 2.002.000, naik 57,72
persn, Kota Bogor menjadi Rp. 2.002.000, naik 70,50 persen, DKI Jakarta
menjadi Rp 2.200.000, naik 43,87 per-sen, Kaltim menjadi Rp 1.762.073, naik
55,76 persen dan seterusnya di kota-kota lain naik tinggi (Per-himpunan
Perusahaan dan Asosiasi Kosmetik Indo-nesia, Asosiasi Pemilik Merek Lokal
Indonesia Nop 2012).
Sementara, peran Kamar
Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia yang absen beberapa tahun terakhir ini,
terhenyak seperti disengat kalajengking. Mereka mengadakan rapat darurat
bersama asosiasi-asosiasi pela-ku usaha semua sektor. Per-temuan tanggal 27
Nopember 2012, dipimpin langsung oleh ketua umum Kadin, intinya dunia usaha
belum sepakat atas kenaikan sepihak yang diputuskan oleh pemerintah pusat dan
Pemda dengan lembaga atau institusi atas nama buruh atas kenaikan UMP lebih
dari kewajaran. Yaitu, melebihi pertumbuh-an industri sebesar 20 persen.
Mereka akan melayangkan surat keberatan kepada Kemenakertrans.
Kadin mengecam
tindakan sekelompok orang atas nama buruh yang merusak citra ketenagakerjaan
itu sendiri karena sweeping ke pabrik-pabrik dan menghasut buruh lainnya yang
tidak mau melakukan demo dijalanan. Hal ini, tentu me-rugikan dunia usaha
karena harus menutup operasi pa-brik dan tanpa tindakan tegas dari
pemerintah. Kadin akan membuka media center untuk menampung ma-sukan anggota
dan mencari jalan keluar urusan hambatan industri dan perdagangan.
Kemudian, jalan
terakhir baru melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) massal apabila jalan
damai yang diupayakan para pelaku usaha tidak diindahkan oleh pembuat sistem
pengupahan yang saat ini tidak berjalan, hal ini merupakan kemunduran.
Saat ini pengangguran
terbilang tinggi. Situasi ini akan menambah tingkat pengangguran dan
mempertinggi kesenjangan. Indeks gini yang mengukur tingkat kesenjangan
ekonomi me-ningkat pesat selama pemerintahan Presiden Susilo Bambang
Yodhoyono (SBY). Publikasi Badan Pusat Sta-tistik (2012) di Indonesia
meningkat 0,32 (2004) menjadi 0,41 (2011). Artinya total pendapatan 20 persen
masyarakat terkaya me-ningkat 42,07 persn (2004) menjadi 48,42 persen (2011).
Sebaliknya masyarakat termiskin total penda-patan 40 persen menurun dari 20,8
persen (2004) menjadi 16,85 persen (2011), (Budiman Sudjatmiko, Kompas 5
Nopember 2012).
Kemelut ekonomi,
akibat kenaikan harga upah tenaga kerja di Indonesia, apabila tidak
diselesaikan secara musyawarah dan mufakat antar pihak dunia usaha, buruh dan
pemerintah, maka pada tahun 2013 akan terjadi kesenjangan yang lebih parah
lagi jika dibandingkan dengan 2012. Pengangguran akan meningkat dan akibatnya
indeks gini makin lebar.
Kekhawatiran di pihak
kaum investor dengan adanya kenaikan Upah Minumum Propinsi (UMP) yang lebih
tinggi dari pertumbuhan salesnya akan menimbulkan kenaikan beban pokok
produksi. Itu, seiring dengan kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) yang sudah
lebih dahulu naik.
Langkah-langkah
efesiensi telah dilakukan oleh para pelaku usaha baik investor domestik
maupun luar negeri, bahkan menjadi pembicaraan ditingkat akademisi apabila
terjadi hengkangnya para investor yang merasa tidak diuntungkan. Disinyalir
terjadi alih fungsi dari industri olahan ke sektor perdagangan (importir).
Hal ini akan mengakibatkan pengurang-an tenaga kerja yang dapat menambah
pengangguran.
Sebab itu, diperlukan
langkah-langkah untuk mengatasi ini. Diharapkan kebijakan Pemda untuk duduk
bersama dengan pelaku usaha, Serikat Pekerja (SP) dan Dinas Ketenagakerjaan.
Jangan asal main hantam kromo mengenai sistem perburuhan demi menangkat
popularitas menjelang Pemilu 2014.
Selain itu, pemerintah
diminta melakukan pengawasan terhadap stabilitas harga barang dan menjamin
kepastian hukum bagi buruh yang murni ingin bekarja dan pelaku usaha. Hal ini
juga untuk mengurangi masuknya tenaga kerja dari luar negeri (misalnya,
Philipine, India yang sudah banyak pekerjanya ditingkat manager di
Indonesia).
Tahap selanjutnya,
buruh migran dari luar bisa masuk dengan standar upah yang sudah tinggi
tersebut, akibatnya buruh-buruh domestik terlempar karena skill mereka lebih
rendah. Ini berdampak timbulnya pengangguran. Sebab itu, harus ada segera
solusi mengenai upah buruh ini.
No comments:
Post a Comment