Sungguh memprihatinkan, ketika demokrasi diperjuangkan dengan taruhan nyawa para korban kerusuhan Mei 1998, kita menghasilkan para wakil rakyat yang dapat dinilai dan dicermati masyarakat. Sepak terjang mereka jangankan memperjuangkan dan mewakili rakyat miskin, untuk membuat produk undang-undang saja banyak dan sarat kepentingan. Kalau yang perlu seperti UU kepartaian dan UU pemilu yang sebenarnya cukup mengarah kepada sistem pemerintahan presidentiil yang kokoh, dengan ambang batas keterwakilan 25 % di DPR, maka partai tersebut dapat mencalonkan presiden. Ternyata bagi para petualang poiltik tidak puas dan akan mengajukan uji materi kepada Mahkamah Konsitusi. Apabila UU Pemilu tersebut dibatalkan pasalnya oleh MK, maka sia-sialah demokrasi yang maunya rakyat memberi mandat kepada pemimpinya dengan pemilihan langsung, akan tidak sejalan dengan tujuannya. Artinya ketimpangan akan terus berlangsung selama partai-partai kecil yang banyak tersebar di Senayan sedikit-sedikit akan mengganggu kerja presiden yang tidak didukungnya. Maunya apa atas nama demokrasi tidak mau membuat perangkat yang benar? Parlementer multi partai atau presidentiil sesuai semangat demokrasi, bingungkan? Lalu kalau belajar terus dan berkutat sistem yang tidak presidentiil dan juga tidak parlementer, akan dibawa kemana negara kita ini. Layaknya sistem presidentiil partai hanya dua, jadi bila diadakan pemilu ya menang telak atau kalah. Otomatis partai pemenanglah yang berhak mencalonkan presiden, simle kan seperti Amerika hanya dua partai Republik dan Demokrat. Sehingga tidak sempat mikir yang aneh-aneh atas dasar hak azasi kemudian partai-partai yang banyak membuat aturan yang sebenarnya tidak perlu dan terkesan asal-asalan, dalihnya untuk melindungi kepentingan tertentu, atau kejar tayang. Dengan demikian presiden tentu rikuh untuk tidak menekennya, karena korban koalisi dan lobi-lobi.
Apa pendapat Prof. Dr. Maria Farida yang kritis dan sangat fasih dengan ketatanegaraan, beliau ahli hukum tata negara UI yang menjadi anggota hakim konstitusi, disela-sela advokasi tentang peraturan presiden dan undang-undang perdagangan tentang distribusi dengan Aliansi 9 Asosiasi. Menurut beliau bahwa banyak produk yang dihasilkan oleh lembaga legislatif adalah asal-asalan dan mengejar deadline karena sudah masuk prolegnas, walau bila dicermati materi dan substansinya jauh setingkat perpres atau kepres. Bedanya bila berupa perpres tidak perlu biaya besar dan cepat pembuatannya. Bahkan banyak substansi yang tidak pas dan sulit di terapkan karena ada yang mengarah kepada perpecahan.
Keprihatinan beliau semakin terasa setelah dirinya menjadi anggota hakim konstitusi baru-baru ini, pasalnya banyak UU yang sudah dibuat dan disahkan DPR akan di uji materi ini kan konyol.
Lebih-lebih mereka menganggap bahwa lebih hebat dari para pendahulunya, apalagi dapat memaknai semangat gotong royong, yang selalu di dengungkan para pendiri bangsa? wasalam...
Secara terpisah keprihatinan serupa dilontarkan GP. Aji Wijaya lawyer terkenal di ibukota ini. Beliau tidak habis berfikir bagaimana lembaga legislatif menghasilkan produk undang-undang namun dengan mudah bisa dibatalkan? apakah ini era kemunduran dibanding para pendahulunnya.
Begitu juga ada UU yang sengaja dipaksakan dan bisa berakibat memudarkan semangat NKRI, mungkin pakai sistem coba-coba dan aji mumpung.....
No comments:
Post a Comment