Disadur dari torehan pena : "Sego Tiwul"
Segala sesuatu adalah imagi. Demikianlah perkataan Henri Bergson filsuf asal Perancis dalam karyanya yang berjudul Matter and Memory. Bahkan menurutnya tubuh, saraf-saraf dan otak kita hanyalah imagi atau gambar. Realitas dalam pemikirannya kemudian dipahami sebagai citra atau gambar yang terlihat dan terperangkap dalam pikiran (memori) atau kesadaran saja. Inilah yang memberikan semacam pemahaman tentang apa itu virtualitas dalam arti filsafat, ia adalah sesuatu yang terhubung secara langsung dengan realitas, yaitu sebagai manifestasi memori (ingatan murni) yang seluruhnya merupakan citra yang hadir dalam pikiran.
Pada zaman elektronik sekarang ini, konsep virtual mempunyai banyak arti. Selain dalam arti seperti tersebut di atas, dunia virtual juga sering disebut sebagai sebagai dunia simulasi; seperti yang dihadirkan oleh sinema atau komputer grafik. Ada pandangan lainnya yang mensejajarkannya dengan ruang saiber atau internet. Ada juga yang memahami dunia virtual sebagai informasi (teks) dan imagi yang dihadirkan oleh media (televisi, majalah atau koran), yang virtual dalam konteks ini merupakan (re)presentasi dari dunia aktual. Yang aktual divirtualkan.
Sebenarnya dari semua definisi di atas dipahami adanya satu kesamaan, bahwa yang virtual tak pernah hadir begitu saja ia selalu dikonstruksikan, manusia selalu memvirtualisasikan kenyataan. Proses virtualisasi bukanlah sesuatu yang sifatnya alamiah. Karena ia mengandaikan sebuah upaya menampilkan kembali secara etis, politis, dan estetis segala yang aktual (kenyataan sesungguhnya) ke dalam sebuah medium.
Karenanya wajar bila ada asumsi yang mengatakan bahwa dunia kehidupan sekarang terangkum dalam sebuah layar. Seseorang bisa saja melihat sesuatu secara langsung (real time) kejadian yang terjadi di belahan dunia lain. Untuk memperluas cakrawala perseptual, kita hanya memerlukan mata dan pikiran saja. Asumsi inilah yang mengantarkan kita pada sebuah ide tentang mutasi ontologi dalam sejarah kehidupan manusia. Realitas bergerak dinamis, walalaupun kita tidak menggerakkan tubuh. Kerlap-kerlip televisi (dan tentunya juga internet) dalam setiap rumah misalnya telah menyediakan ruang secara virtual dan aktual sekaligus.
Demikian juga ketika realitas hilang dalam gelap bioskop. Manusia berkerumun dan secara bersama-sama merasakan ekstase sinematik, merasakan emosi-emosi temporal (artifisial) yang distimulasi oleh gambar bergerak. Industri film yang telah menyebar sampai ke pelosok-pelosok negeri jelaslah memberikan sebuah gambaran betapa manusia tak puas dengan hidupnya yang biasa-biasa saja. Menonton film misalnya menjadi semacam ritus, gmanusia seperti ingin lari dari kenyataan, bukan mempelajarinya h demikian kata Rosalind William dalam bukunya The Dream World: Mass Consumption in Late Nineteeenth-Century.
Sekarang keterasingan yang sering digembar-gemborkan oleh kaum Ma**is tampaknya sudah mulai dijinakkan oleh penyebab keterasingan itu sendiri (relasi produksi). Kini kekuasaan kapitalis telah mengimunisasikan dirinya dan menguatkan cengkeramannya dengan memproduksi sesuatu yang dapat menangkal keterasingan yang diidap masyarakat posindustri; yakni film. Industri film (dan hiburan) juga telah merekam roh zaman—dengan mengartikulasikan, atau merepresentasikan sejarah secara dramatik dan artistik. Sejarah dalam arti tertentu divirtualkan lewat alat-alat teknologi. Inilah yang membuat Baudrillard secara profetik mengatakan tentang adanya semacam zaman di mana film dan sejarah menjadi tak terpisah dan terdefinisikan. Yaitu ketika kita tidak bisa mengetahui apakah gambar bergerak yang ditampilkan dalam film Ben-Hur si pangeran Yahudi itu ada pada zaman modern atau pada zaman kekaisaran Romawi awal abad Masehi. Ada semacam skizofrenia sejarah dalam virtualitas yang dihadirkan lewat film.
Dalam internet, yakni cyberspace, virtualitas menemukan bentuk sejatinya. Seseorang dalam ruang ini tidak saja menjadi penerima pasif informasi atau imagi (seperti dalam film atau acara televisi), tapi ia juga dapat dengan aktif memproduksinya; bahkan seseorang dapat memvirtualisasikan dunia dirinya. Ruang ini secara etis dan politis memang kacau balau, tapi tak dapat dimungkiri di sinilah kita mengerti secara tentatif apa itu kebebasan—dalam arti anarki atau kebebasan absolut. Kebebasan dikatakan ada dalam ruang cyber karena memang dalam ruang ini tak ada relasi kekuasaan yang menentukan sesuatu secara etis, estetis dan politis. Dari yang suci sampai yang terkutuk ada dalam ruang ini. Virtualisasi kenyataan dalam sinema, televisi atau internet dalam arti tertentu memang telah mengaburkan cara pandang manusia tentang dunianya. Yang aktual misalnya secara ontologis bisa melebur dengan yang virtual lewat teknologi satelit. Karenanya ia mempunyai efek yang cukup mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat.
Contoh jelas bagaimana ia secara etis mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat adalah virtualisasi teror. Virtualisasi teror terjadi ketika keadaan takut dan trauma akibat aksi teroris dihadirkan, disebarkan, dan gemakan kembali oleh media informasi; sehingga tercapailah tujuan utama dari teror. Wajarlah bila Derrida mengatakan, dalam penafsiran Giovanna Borradori (dalam bukunya Philosophy in a Time of Terror), bahwa media, juga kekuasaan politik tentunya, punya andil dan tanggung jawab untuk mereduksi dan menyebarkan teror. Derrida dalam hal ini sebenarnya mencoba menyampaikan bahwa esensi dari teror adalah ketakutan yang digemakan dan disebarkan. Inilah yang dipercaya olehnya sebagai emasa depan f terorisme; yakni serangan-serangan virtual.
Serangan virtual tentu tidak hanya informasi mencekam tentang bencana teror saja, tapi juga banyak lainnya. Misalnya rekayasa kultural guna mendukung laju dan kepentingan pasar global yang semakin hari semakin menjauhi nilai-nilai keadilan melalui film atau acara televisi. Dari sinilah kita ketahui bahwa virtualitas telah menjelma menjadi kekuatan yang menentukan nilai-nilai, atau, katakanlah, lokus utama diskursus. Ia dalam beberapa hal merupakan cermin yang memantulkan (yang terkadang membiaskan) gambaran kondisi masyarakat.
Imperium Imagi
Dalam diskursus posmodernisme, virtualitas (dalam konteks filsafat tentunya) menemukan padanannya secara politis dalam konsep imagologi. Imagologi adalah sebuah konsep yang diambil dari novel karya Milan Kundera yang berjudul Immortality. Berasal dari penggabungan makna kata imago dan logos, ia mempunyai arti logika imaginasi.
Memang agak sulit dimengerti menggabungkan kata imaginasi dan logika, karena kedua kata ini secara konseptual bertentangan. Namun karena fenomena imagologi melampaui sesuatu yang logis dan rasional, sulitlah menjelaskan di mana letak pertentangannya. Karena imagologi, seperti yang dipercaya oleh Milan Kundera dalam sketsa ceramahnya tentang Novel as Philosophical Vehicle sekarang telah berhasil mengatasi kekuatan ideologi. A surface essensialism (imagology) replacing a depth essensialism (ideology) demikian kata Kundera.
Imagologi hadir sebagai sesuatu yang menampilkan atau menggambarkan fenomena sosial dan tentunya objek-objek kultural dalam gambar dan tulisan; seperti industri pakaian, papan iklan, majalah, koran dan medium gambar lainnya. Secara tak sadar memang imagologi sekarang telah menjadi dan bahkan mengatasi ideologi; yaitu ketika ia menyatakan diri sebagai penggerak konsumerisme. Bahkan dalam ranah politik secara eksplisit imagologi memainkan peranan yang cukup besar.
Sekarang kita dapat saksikan misalnya bagaimana imagi-imagi—kepingan-kepingan realitas—tumpang tindih dalam majalah, koran, spanduk, papan reklame di sepanjang jalan yang kemudian membentuk semacam imagologi kehidupan masyarakat. Ia menjadi cermin yang menentukan gaya dan pola hidup, atau katakanlah roh zaman. Demikianlah kemudian muncul sebuah gagasan yang mengatakan bahwa industri iklan, media massa, desainer, stylist, arsitek dan tukang sablon lah pelaku-pelaku yang menciptakan kenyataan.
Sebagai manifestasi dari imaginasi yang berisi kata, tanda dan citra atau gambar, imagologi tak membedakan mana yang virtual dalam arti representatif-teknologis dan kenyataan aktual. Karena ia berada sekaligus dalam dua dunia yang bergerak maju secara dialeketis. Dua dunia ini adalah yang aktual dan yang virtual. Pergerakan ini memberikan penjelasan tentang adanya proses aktualisasi dan virtualisasi. Virtualisasi dalam konteks ini dapat dijelaskan sebagai kenyataan dalam permainan, keindahan dan normativitas yang dilogiskan menjadi imagi. Sedangkan aktualisasi (dalam arti imitasi) adalah ketika imagi-imagi menjadi rujukan sehingga ia dapat menentukan kenyataan sosial. Karenanya ia bisa disebut sebagai cermin yang memantulkan realitas sosial masyarakat.
Demikianlah imagologi menjadi ruh yang menggerakkan peradaban. Bila pada masyarakat zaman prasejarah, imagologi dimengerti sebagai objek-objek penyembahan yang sakral; sekarang pada masyarakat posindustri, imagologi menjadi kekuatan utama relasi produksi (konsumerisme). Yang baik, menentukan dan dapat dijual itu tergantung dari tampakkan luar atau sebatas imagi saja. Seperti diktum posmodern populer: kemasan adalah segalanya.
1 comment:
Tulisan ini sungguh menarik, dan membuka mata tentang imagologi antara vertualitas dan faktais.Semoga dapat dipelajari sekaligus dimengerti.
Trimakasih Sego Tiwul, Anda luarbiasa.
Post a Comment