Thursday, October 2, 2014

Pengaruh Faktor-Faktor Inflasi Terhadap FDI dan Pengangguran Danpaknya Kepada Daya Beli masyarakat di Indonesia



I.     PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Masalah

Pembangunan ekonomi memegang peranan penting bagi tiap negara, terutama untuk keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat di negara-negara miskin atau negara yang sedang berkembang, sehingga dalam menyejahterakan masyarakat perlu pendekatan baik secara ekonomi maupun sosial budaya yang melibatkan lingkungan. Konsep pembangunan secara luas, sebagai proses perbaikan yang berkesinambungan dari suatu masyarakat atau sistem sosial secara keseluruhan menuju kehidupan yang lebih baik, atau lebih manusiawi. Negara memiliki peran dalam menyejahterakan penduduknya dengan mendorong pertumbuhan ekonomi dan memberikan lapangan pekerjaan guna mengurangi pengangguran, dengan demikian  masyarakat akan dimampukan mencukupi kebutuhannya melalui peningkatan PDB perkapita sebagai pengukuran daya beli yang mereka miliki.
Pertumbuhan ekonomi di era keterbukaan atau globalisasi yang sarat dengan kompetisi antar negara dan akan dipengaruhi oleh  masalah-masalah makro ekonomi, baik pada tingkat permintaan agregat (aggregate demand) terdiri dari pengeluaran agregat : konsumsi masyarakat, investasi, pengeluaran pemerintah maupun ekspor netto. Juga oleh penawaran agregat (aggregate supply) yang berupa siklus bisnis, inflasi, resesi (jangka pendek), perkembangan output dan standar kehidupan manusia (jangka panjang), oleh karenanya dalam menjaga pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan diperlukan pengawasan, penerapan kebijakan makro bidang moneter terutama stabilitas inflasi, nilai tukar, dan stabilitas harga barang-barang dan jasa, dibarengi dengan penerapan kebijakan fiskal yang pro pertumbuhan berkesinambungan (Samuelson dan Nordhaus : 2004). Pembangunan ekonomi tidak terlepas dari pengukuran suatu parameter keberhasilan menyejahterakan rakyatnya antara lain melalui penyediaan lapangan pekerjaan, mengurangi pengangguran untuk tujuan peningkatan daya beli masyarakat, dengan meningkatkan pendapatan perkapita secara terus menerus dan berkesinambungan dalam jangka panjang.
 Faktor inflasi merupakan bagian dari masalah makro mendapatkan perhatian besar dalam pembangunan ekonomi suatu negara, peran otoritas moneter sangat penting dalam pengawasan dan pengendalian angka inflasi, sebab inflasi yang tinggi secara tidak langsung dapat memperlambat pertumbuhan ekonominya, hal ini akan selalu dihadapi oleh negara-negara yang sedang berkembang, apalagi negara sedang mengalami konflik atau perang, pada akhirnya akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi dan daya beli masyarakatnya. Inflasi yang timbul baik akibat aktivitas ekonomi, permintaan agregat atau penawaran agregat harus tetap dikendalikan oleh para pemangku kebijakan dalam sebuah negara.W.I.M. Poli (2010, hal. 254) mengatakan, menurut Friedman pemerintah seharusnya mengandalkan kebijakan moneter bukan hanya kebijakan fiskal, yaitu : mengendalikan uang yang beredar untuk mengatasi inflasi, gejolak demo buruh, kesempatan kerja dan pendapatan nasional, artinya jika pemerintah meningkatkan jumlah uang yang beredar yang sama dengan kenaikan pendapatan nasional riil, maka inflasi dapat ditiadakan dan kondisi seperti ini juga tidak baik, sebaliknya inflasi moderat justru akan menggairahkan iklim investasi.
Goldman Sachs memformulasikan 11 negara yang akan prospektif untuk tujuan investasi, yaitu mengikuti prospek BRIC (Brazil, Rusia, India dan China), mereka merupakan kelompok “The Next-11” yang terdiri dari : Bangladesh, Mesir, Indonesia, Iran, Meksiko, Nigeria, Pakistan, Filipina, Korea Selatan, Turki dan Vietnam. Salah satu indikator makro ekonomi yang menjadi pertimbangan “growth evironment score (GES) Index adalah : Inflasi. (Chatib Basri, dkk, 2012, hal. 40).

Data tentang inflasi dunia dikeluarkan BI oleh Bloomberg (2013),
laju inflasi dikelompokkan dalam beberapa katagori:

1.   Negara Industri Utama (Amerika Serikat, Zona Euro, Jerman, Prancis, Italia, Jepang, Inggris, dan Kanada), pada periode 2008 hingga 2012 rata-rata inflasi dibawah 5 persen.
2.   Beberapa Negara Eropa Lainnya (Rusia dan Turki) rata-rata inflasi 6 persen sampai dengan 7 persen.
3.   Asia (RRC, Korea Selatan, Hongkong, Taiwan, India) dan India yang memiliki inflasi antara 10 persen sampai dengan 11 persen.
4.   Negara Asean -5 (Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura dan Thailand) dan Indonesia tiga tahun terakhir lebih tinggi dari yang lain antara 6 sampai dengan 8,7 persen.
5.   Australia : Inflasi terkendali rata-rata dibawah 4 persen.
6.   Negara-negara Amerika Tengah dan Selatan (Argentina, Brazil, Mexico) dan Argentina memiliki laju inflasi lebih besar dari 10 persen.
7.   Afrika Selatan : laju inflasinya 3,5 persen sampai dengan 6 persen.

Negara-negara tersebut terus melakukan penekanan laju inlasi pada tingkat moderat antara 4 persen s/d 5 persen.


Di Asean sendiri angka inflasi berfluktuatif di masing-masing negara, berikut ini perbandingan angka inflasi antara Indonesia, Singapura, Malaysia dan Thailand adalah (Asean – 5):


Tabel 1.1
Inflasi Negara Asean
Tahun 2003-2013
Tahun
Indonesia
Singapura
Malaysia
Thailand
2003
5,06
0,10
0,01
0,56
2004
6,40
1,66
1,52
1,04
2005
17,11
0,10
3,03
1,51
2006
6,60
1,20
3,61
1,53
2007
6,59
2,10
2,03
0,82
2008
11,06
6,51
5,44
1,69
2009
2,78
0,10
0,01
3,50
2010
6,96
1,80
1,00
1,28
2011
3,79
5,24
3,17
1,27
2012
4,30
5,50
3,00
3,60
2013
8,33
2,13
2,76
2,30
        Sumber : BI : Bloomberg(2013).

Indonesia mengalami inflasi tinggi sebesar 77,63 persen pada tahun 1998, pasca krisis ekonomi yang menimbulkan gejolak sosial (BPS: 2000). Data inflasi Asean sepuluh tahun terakhir menunjukkan, bahwa Indonesia masih memiliki tingkat inflasi lebih tinggi dibandingkan Singapura, Malaysia, Thailand, namun masih pada tahap moderat berkisar antara 5 persen s/d 8 persen, akan berpengaruh terhadap masuknya investasi asing langsung (FDI), dan inflasi tersebut berpengaruh langsung terhadap penurunan  daya beli masyarakat di Indonesia.
Indonesia dalam mengatasi kesulitan makro ekonomi seperti inflasi dan lain-lain, maka dalam rangka mewujudkan sistem perekonomian yang menyejahterakan rakyat sesuai amanat UUD’45 pasal 33, Permerintah Indonesia dan Otoritas Moneter yaitu Bank Indonesia bersinergi melalui penetapan kebijakan-kebijakan yang saling mendukung dalam menjaga stabilitas makro ekonomi, termasuk kebijakan moneter oleh BI dalam menentukan target inflasi yang tepat (Inflation targeting). Menurut UU No. 23 Tahun 1999 tentang “Bank Indonesia” dalam menetapkan tingkat target inflasi yang ideal, maka disebutlah istilah Inflation Targeting Framework (ITF). Pendapat Aulia Pohan (2008, hal. 196) bahwa dalam melaksanakan kebijakan moneter, Bank Indonesia diwajibkan untuk menentukan sasaran inflasi setiap tahun kalender, artinya kebijakan moneter yang digariskan dalam UU Bank Inonesia, implisit telah menunjukkan bahwa kebijakan moneter BI menggunakan inflation targeting framwork, sebagai kerangka kebijakannya.

Inflasi (demand pull inflation) yang terjadi di Indonesia dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor  antara lain :
1.   Jumlah Uang Beredar, kenaikan jumlah uang beredar akan menyebabkan inflasi, sehingga diikuti kenaikan harga barang-barang dan jasa.
2.   Setiap terjadi pengurangan subsidi BBM (Bahan Bakar Minyak) kepada masyarakat berupa kenaikan harga BBM khusus nya jenis premium, disebabkan pengguna jenis BBM ini di Indonesia terus bertambah.
3.   Tambahan investasi untuk pengeluaran pemerintah berupa infrastruktur fasilitas publik yang terhenti menyebabkan ICOR meningkat, karena banyak kebocoran-kebocoran seperti gedung olah raga Wisma Atlet Palembang, dan proyek Hambalang, menyebabkan kenaikan inflasi.

Inflasi karena tekanan biaya (cost push inflation)  dapat terjadi karena beberapa faktor :
1.      Kurs, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat yang makin merosot mempengaruhi komposisi ongkos input makin mahal, hal ini disebabkan bahan baku industri nasional sebagian besar impor dari luar negeri, ditambah rupiah merosot tajam hingga Rp.12.200,- per dolar Amerika Serikat sepanjang semester dua hingga akhir tahun 2013, menyebabkan permintaan rupiah meningkat tajam mengakibatkan kenaikan harga pokok produksi, menyebabkan kenaikan harga barang.
2.      Suku bunga kredit, faktor ini sangat mempengaruhi struktur kalkulasi harga pokok produksi nasional, dan banyak dikeluhkan oleh semua pelaku usaha di Indonesia karena bunga kredit mahal dan sangat memberatkan operasionalnya, ketika Bank Indonesia menaikkan suku bunga pinjaman, maka biaya tersebut akan dibebankan pemasok bahan mentah dan alat-alat produksi kepada industri pengolahan. Industri pengolahan karena tekanan harga pokok produksi, maka akan menaikkan harga barang dipasaran dan menimbulkan inflasi.
3.      Terms of trade (TOT), rendahnya TOT dan tidak efesien artinya nilai impor (khususnya migas) lebih besar dari nilai ekspornya, menyebabkan neraca perdagangan Indonesia secara total terus defisit, akibatnya dibutuhkan jumlah uang saat kewajiban impor jatuh tempo mengakibatkan inflasi.

Indonesia memiliki tingkat inflasi moderat yaitu antara 5 – 8 persen, sehingga masih diminati oleh para investor asing untuk menanamkan modalnya secara langsung (FDI) ke negeri ini. Menurut Undang-undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, definisi PMA pada pasal 1 ayat 6 adalah : perseorangan warga negara asing, badan usaha asing dan/atau pemerintahan asing yang melakukan penanaman modal diwilayah RI penjelasan ini mengatakan bahwa diberikan kesempatan kepada pihak asing menanamkan modal di Indonesia bisa perseorangan warga negara asing artinya perseorangan asing diizinkan berusaha dibidang penanaman modal asing tetapi wajib dalam bentuk badan usaha Indonesia (PT) berdasarkan UU No. 40 Tahun 2007 tentang perseroaan. Apabila tidak dalam bentuk badan hukum perseroan, pihak asing tidak diperbolehkan melakukan usahanya di Indonesia.
        Indonesia sebagai bagian dari “The Next-11” menjadi tempat yang paling menjanjikan dalam hal investasi. Dalam World Investment Report 2012 yang dikeluarkan oleh UNCTAD (United Nations Confrence on Trade and Development) menunjukkan, China akan mengungguli Amerika Serikat sebagai negara tujuan investasi asing langsung (Foreign Direct Investment/FDI) hingga tahun 2013. Indonesia akan mengungguli Australia dan Jerman pada periode yang sama. (Chatib Basri, dkk. 2012, hal 41).

Tabel 1.2
Investasi Asing Langsung (FDI) Asean
(Dalam Milyar USD) Tahun 2003 - 2013
Tahun
Indonesia
Singapura
Malaysia
Thailand
2003
-596,92
11,941.30
2,473.16
5,232.27
2004
1,896.08
21,026.00
4,624.21
5,860.26
2005
8,336.26
15,459.60
3,966.01
8,055.35
2006
4,914.20
29,347.90
6,076.12
9,454.93
2007
6,928.48
37,032.90
8,590.19
11,326.90
2008
9,318.45
8,588.19
7,375.91
8,538.34
2009
4,877.37
15,278.60
1,387.39
4,853.96
2010
13,770.60
38,638.10
9,167.20
9,678.89
2011
18,159.50
9,599.10
11,700.00
1,576.76
2012
28,472.73
30,030.00
11,920.00
5,159.00
2013
24,145.54
44,500.00
5,875.00
3,300.00
             Sumber : BKPM  (2013)

Tabel 1.2 menjelaskan bahwa Indonesia masih merupakan negara tujuan investasi   para investor luar negeri dan menduduki urutan ke dua setelah Singapura.
     Inflasi moderat tidak menjadikan masalah para pemodal asing untuk menanamkan modalnya (FDI) di Indonesia, terutama menjelang berlakunya Ekonomi Masyarakat Asean (AEC 2015), setiap negara anggota akan meningkatkan daya saingnya dan menjaga inflasi tetap rendah untuk menarik FDI negara lain. Hal ini ditegaskan Badan Standardisasi Perdagangan, Kementrian Perdagangan Indonesia 2013 dihadiri delegasi Asean, pada seminar nasional dengan tema “Indonesia Menuju Masyarakat Ekonomi Asean : Meningkatkan Daya saing Dalam Pasar Bersama Asean” menekankan perlunya efisiensi dan meningkatkan ekspor, sehingga Indonesia diharapkan menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Fakta dilapangan kenyataannya peningkatan Investasi Asing Langsung Indonesia tidak menurunkan jumlah pengangguran terbuka, karena penanaman modal asing tersebut berupa padat modal seperti mesin-mesin otomatis dan pemanfaatan tenaga kerja (outsourching) yang sering diprotes oleh Serikat Pekerja sepuluh tahun terakhir ini. Penyebab lainnya beralihnya pekerja tetap yang terkena PHK akibat otomatisasi, beralih profesi dari buruh menjadi PKL (Pedagang Kaki Lima) yang pada saat sekarang tidak terdaftar lagi menjadi tenaga kerja di Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI.
Indonesia negara agraris memiliki kekayaan alam yang melimpah, namun ironis mengalami keterbatasan cadangan pangan untuk keperluan konsumsi nasional karena infrastruktur daerah buruk. Contoh kelangkaan terjadi pada komoditas kedelai, cabai, garam, daging sapi, bawang merah, bawang putih dan lain-lain jenis bahan makanan, akibatnya harga dipasaran melambung hingga 80 persen disebabkan permintaan agregat naik, dan perlu tambahan jumlah uang untuk membayar hutang luar negeri karena barang-barang tersebut harus diimpor, menyebabakan inflasi pada th 2011 hingga 2013. Kelangkaan cadangan minyak dunia yang diakibatkan pertikaian di Timur Tengah, menyebabkan naiknya harga minyak di pasaran dunia, menyebabkan kenaikan BBM yang harus diimpor, dan setiap kali pemerintah mengurangi subsidi pada BBM menyebabkan demand pull inflation.
Jenis inflasi yang timbul karena penawaran agregat, diikuti biaya produksi tinggi disebabkan kenaikan suku bunga kredit oleh BI, dan kenaikan nilai tukar Kurs rupiah terhadap dolar AS, mengakibatkan kuantitas produksi menurun, dan mendorong naiknya harga-harga barang di pasar, keadaan ini menyebabkan cost push inflation.
Di Indonesia inflasi terus dikendalikan dan dipertahankan dibawah angka psikologis 10 persen, untuk meningkatkan daya beli masyarakat yang semakin menurun pertumbuhannya, hal ini tercermin dari menurunnya persentasi perubahan PDB terhadap jumlah penduduk Indonesia beberapa tahun terakhir ini.
        Berdasarkan uraian diatas penelitian ini perlu dilakukan untuk menganalisis dan mengkaji, seberapa besar pengaruh faktor-faktor Inflasi terhadap Investasi asing langsung, dan pengangguran serta dampaknya kepada Daya beli masyarakat di Indonesia.

B.       Identifikasi Masalah

Sesuai dengan latar belakang masalah yang diuraikan pada bagian pendahuluan, maka masalah-masalah yang diteliti dapat diidentifikasikan, sebagai berikut :
Inflasi merupakan gejala sosial yang memengaruhi stabilitas harga-harga barang dan jasa, yang harus dikendalikan Otoritas moneter. Inflasi di Indonesia sangat dipengaruhi oleh kenaikan permintaan konsumsi bahan makanan, belanja pemerintah, Investasi, kegiatan ekspor impor (agregat demand)  dan bahan baku barang modal impor, Kurs, Upah buruh dll input cost untuk aktivitas produksi (agregat supply). Tiga tahun terakhir angka inflasi mulai naik, kemungkinan disebabkan oleh beberapa faktor sebagai berikut:

1.   Jumlah Uang Beredar
     Jumlah uang beredar dari tahun ke tahun mengalami peningkatan, dan cenderung diatas dua digit, namun ironis inflasi di Indonesia justru menurun  Hal ini bisa terjadi karena M2 beberapa tahun terakhir berupa uang quasi dalam bentuk tabungan, deposito berjangka dalam dolar AS dan mata uang asing lainnya.
2.   Harga BBM
     Indonesia saat ini sangat tergantung impor BBM dari luar negeri,  diperparah cadangan minyak dunia semakin berkurang, sehingga harga menjadi mahal, maka Pemerintah harus mengurangi subsidi BBM dengan menaikkan harga BBM, akibatnya harga-harga barang dan jasa akan naik secara terus menerus dan tidak bisa turun lagi.
3.   ICOR
     ICOR (Incremental Capital Output Ratio), tambahan investasi yang tidak dipergunakan semestinya mencatat ICOR meningkat. Hal ini terjadi 5 tahun terakhir banyaknya korupsi dan kebocoran dana investasi mengakibatkan banyak fasilitas publik yang mandeg seperti Hambalang, Mega proyek jalan non tol DKI menunjukkan ICOR tinggi, dan pertumbuhan ekonomi juga melambat.
4.   Suku Bunga Kredit
     Ketika Bank Indonesia melakukan pengetatan terhadap uang beredar, seperti beberapa tahun terakhir, maka langkah yang dilakukan dengan meningkatkan suku bunga BI. Efek dari kebijakan suku bunga kredit yang naik akan membebani biaya operasional industri yang mengakibatkan tidak efisien, sehingga industri akan menaikan harga barang-barang dan jasa di Pasaran.
5.   Kurs
     Merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat, sangat memukul industri, diketahui bahwa 70 % bahan baku dan barang modal di impor dari luar negeri, maka untuk kasus Indonesia setiap terjadi kemerosotan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat tersebut,  akan membebani harga pokok produksi, otomatis jumlah kuantitas produksi menurun, pada akhirnya mendorong kenaikan harga-harga barang dan jasa.
6.   Terms of Trade
     Terms of Trade pada beberapa tahun terakhir mengalami penurunan, hal ini menunjukan bahwa nilai ekspor non migas Indonesia meningkat tetapi tidak sebanding dengan peningkatan impor migas yang dewasa ini cadangannya semakin menurun, sehingga harga beli menjadi mahal menyebabkan neraca perdagangan defisit, dan menurunkan daya saing karena harga-harga barang yang diekspor menjadi tidak kompetitif.

        Inflasi yang terkendali akan menarik Investasi Asing Langsung. Di Indonesia 4 tahun terakhir FDI meningkat, bahkan kedepan menyambut Masyarakat Ekonomi Asean (MEA-2015), memiliki peluang mengalahkan Australia, walaupun Indonesia memiliki tingkat inflasi yang naik turun, namun terkendali dibawah 8,5 persen, masih menarik aliran dana investasi asing masuk ke Indonesia, hanya disayangkan penyerapan tenaga kerja berkurang dan menimbulkan pengangguran semu, dimana yang terkena PHK beralih profesi menjadi Pegadang Kaki Lima (PKL), hal ini disebabkan investasi yang masuk  berupa padat modal, seperti mesin-mesin otomatis.
        Pengangguran di Indonesia menunjukan tren menurun, artinya ada perbaikan selama 5 tahun terakhir namun masih stagnan dan persentasenya semakin berkurang, disebabkan karena PHK dan beralih dari tenaga tetap menjadi tenaga kontrak (outsourcing) atau PKL seperti yang diuraikan di atas yang tidak terdaftar pada data BPS maupun Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
        Daya beli masyarakat di Indonesia yang diukur dari PDB perkapita, cenderung meningkat dari tahun ketahun, namun beberapa tahun terakhir pertumbuhannya menurun, disebabkan kenaikan harga-harga barang dan jasa yang semakin mahal karena baik bahan kebutuhan konsumsi, maupun bahan baku industri didatangkan melalui impor, sedangkan nilai rupiah terus menerus merosot.           Pendapatan perkapita adalah indikator kesejahteraan masyarakat yang sangat penting untuk kelangsungan hidup tiap warga negara, sehingga setiap terjadi kenaikan inflasi yang signifikan, maka yang pertama terkena adalah daya beli masyarakat berpenghasilan tetap atau para pensiunan.

C.      Pembatasan Masalah

        Berdasarkan latar belakang masalah dan faktor-faktor yang telah diidentifikasi, maka pembatasan masalah penelitian ini, hanya meliputi variabel-variabel:
1.Jumlah uang beredar adalah M2 (uang kartal, uang giral, simpanan tabungan dan deposito berjangka), Harga BBM Premium bersubsidi, ICOR, Suku Bunga Kredit Modal Kerja (KMK), Kurs Rupiah terhadap USD, Terms of trade perbandingan nilai ekspor terhadap nilai impor.
2.Pengaruh Inflasi hanya terhadap Investasi asing langsung.
3.Pengaruh Inflasi hanya terhadap Pengangguran
4.Dampak Inflasi, Investasi Asing Langsung, dan Pengangguran hanya kepada Daya Beli Masyarakat (PDB / jumlah penduduk) di Indonesia.

        Penelitian ini hanya didasarkan pada data tahunan runtut waktu (time series) selama 32 tahun, yaitu tahun 1982 s/d tahun 2013. Sumber data diperoleh dari data sekunder yang dikeluarkan oleh BI, BPS, BKPM, Bappenas, dan Kementrian Tenaga Kerja & Transmigrasi RI di Jakarta.

D.      Perumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah dan pembatasan masalah yang ditetapkan diatas, maka perumusan  masalah dalam penelitian ini adalah :
1.   Bagaimanakah pengaruh faktor-faktor : Jumlah Uang beredar M2, Harga BBM, ICOR, Suku Bunga Kredit, Kurs dan Terms of Trade secara simultan dan parsial terhadap  Inflasi di Indonesia?
2.   Bagaimanakah pengaruh Inflasi terhadap Investasi Asing Langsung di Indonesia?
3.   Bagaimanakah pengaruh Inflasi terhadap Pengangguran di Indonesia?
4.   Bagaimanakah pengaruh Inflasi, Investasi Asing Langsung, dan
5.    Pengangguran secara simultan dan parsial terhadap Daya beli masyarakat di Indonesia?

E.     Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah tersebut diatas, maka tujuan penelitian ini ditetapkan sebagai berikut :
1.Untuk mengkaji dan menganalisis  pengaruh faktor-faktor : Jumlah uang beredar M2, Harga BBM, ICOR, Suku bunga kredit, Kurs, dan Terms of Trade secara simultan dan parsial,  terhadap  Inflasi di Indonesia.
2.Untuk mengkaji dan menganalisis pengaruh Inflasi terhadap Investasi Asing Langsung di Indonesia
3.Untuk mengkaji dan menganalisis pengaruh Inflasi  terhadap Pengangguran di Indonesia.
4.Untuk mengkaji dan menganalisis pengaruh Inflasi, Investasi asing langsung, dan Pengangguran secara simultan dan parsial, terhadap Daya beli masyarakat di Indonesia.

F.     Kegunaan Penelitian
      Hasil penelitian ini pada masa mendatang diharapkan bermanfaat  :
1.    Secara akademik, memberikan kontribusi dalam pengembangan Ilmu Ekonomi yang berkaitan dengan teori Inflasi, Ekonomi Pembangunan dan Investasi. Inflasi sebagai indikator makro ekonomi, yang ditandai dengan kenaikan harga barang-barang dan jasa secara terus menerus, yang dapat mempengaruhi masuknya investasi asing langsung dan pengangguran serta dampaknya terhadap daya beli masyarakat di Indonesia.
2.    Untuk Praktisi, sebagai bahan masukan kepada para pemangku kebijakan dalam hal ini Kementrian-kementrian dibawah koordinator Menteri Perekonomian, dan Otoritas Moneter (BI), agar lebih hati-hati dalam menjaga stabilitas harga barang-barang dan jasa, dibutuhkan sinergisitas dalam menangani kelangkaan bahan dan barang. Sehingga dapat menciptakan iklim investasi yang kondusif dan efisien maka harga pokok output riil rendah, sehingga meningkatkan daya saing nasional. Dengan demikian mampu menciptakan stabilitas makro ekonomi untuk mendorong masuknya investasi asing langsung, mengurangi pengangguran, dan meningkatkan daya beli masyarakat di Indonesia.
3.    Untuk Peneliti berikutnya, sebagai bahan pembanding dan masukan dalam mengembangkan masalah penelitian, tentang faktor-faktor yang mempengaruhi inflasi, dan pengaruhnya terhadap FDI, pengangguran serta dampaknya kepada daya beli masyarakat di Indonesia.

No comments: