Sunday, December 14, 2008

HASTO KRISTIANTO KOM VI DPR RI : UU YG LIBERAL


Intervensi asing di satu sisi bisa berarti positif yaitu untuk menggenjot ekonomi domestik. Namun, bila campur tangan itu sudah terlalu kuat, maka Indonesia akan mudah terjebak pada skenario asing. 

INILAH.COM, Jakarta - Intervensi asing di satu sisi bisa berarti positif yaitu untuk menggenjot ekonomi domestik. Namun, bila campur tangan itu sudah terlalu kuat, maka Indonesia akan mudah terjebak pada skenario asing. 
Hal itu diungkapkan Hasto Kristianto, Anggota DPR Komisi VI Fraksi PDI Perjuangan. Menurutnya, campur tangan asing begitu kuat dalam proses pembuatan UU Migas No 22 Tahun 2001 sehingga Indonesia begitu gampang terjebak dengan kepentingan asing. 
�Karena itu, sekarang ini merupakan momentum untuk melakukan koreksi terhadap UU tersebut bahkan bukan hanya UU Migas saja, tapi masih banyak UU yang lain yang terliberalisasi,� ujarnya, di Jakarta, kemarin. 
Lebih lanjut dikatakan, ada bukti-bukti pihak asing membiayai proses legislasi di Indonesia. Termasuk di dalam UU Migas No 22 Tahun 2001, Undang-undang Penanaman Modal, UU Bank Indonesia, termasuk UU Pemilu pun. Berikut petikan lengkap wawancaranya. 
Sejak kapan ada intervensi asing dalam legislasi? 
Perubahan yang luar biasa setelah reformasi adalah perubahan mind-set, di mana sistem politik dan ekonomi kita menjadi tidak berdaulat. Meskipun kita bisa membela diri bahwa itu akibat ketidakberdayaan dalam membangun kedaulatan politik. Kita begitu gampang terjebak pada skenario-skenario IMF. 
Campur tangan asing begitu kuat, bahkan ada bukti-bukti pihak-pihak asing membiayai proses legislasi kita. Termasuk dalam UU Migas No 22 Tahun 2001, Undang-undang Penanaman Modal, UU Bank Indonesia, dan dalam UU Pemilu pun, Amerika sangat aktif memperkenalkan sistem liberalisasi dalam sistem politik domestik. Sekarang adalah momentum yang tepat untuk melakukan koreksi. 
Termasuk juga sektor ritel? 
Di dalam ritel pun terjadi liberalisasi secara luar biasa. Sekarang ini tolak ukur keberhasilan pemerintah daerah seolah-olah kalau sudah ada Carrefour (pasar swalayan). Terhadap hal ini, kita harus sependapat, harus ada kesepakatan nasional untuk melaksanakan revisi Undang-undang. 
Mau tidak mau diperlukan konsensus, bahwa fakta yang kita hadapi adalah kemerosotan dalam kedaulatan, khususnya pada tataran ekonomi. Bahkan sekarang bukan lagi politik ekonomi tapi ekonomi-politik, yang mempengaruhi seluruh sendi kehidupan politik. 
Kalau kita sependapat, maka dalam penyelenggaraan sistem politik, harus didorong bagaimana membangun kedaulatan ekonomi. Kedaulatan ekonomi ditandai dengan kedaulatan pangan, energi, pertahanan-keamanan, keuangan. Itulah sekurang-kurangnya. 
Lantas harus disikapi bagaimana terhadap Undang-undang yang terliberalisasi? 
Terhadap Undang-undang yang nyata-nyata terjadi liberalisasi itulah yang harus kita revisi. Ke depan, saya mengidolakan bahwa seorang politisi diukur dari keputusannya. Keputusannya dalam mendorong proses legislasi, proses di dalam anggaran yang tujuannya membangunan kedaulatan. Itu tolak ukur keberhasilan utama. 
Artinya? 
Artinya di dalam politik, anggaran adalah yang menentukan nafas kehidupan hingga ke rakyat kecil. Kita memiliki ketergantungan besar terhadap utang dalam negeri. Dan kita melihat bagaimana pemerintah begitu kelabakan ketika pasar obligasi menghadapi ketidakpercayaan. 
Bagaimana intervensi asing dalam sektor lain? 
Pengaruh asing tidak hanya dalam perundang-undangan tapi sudah menjadi suatu perilaku. Dalam perilaku yang mau tidak mau, semua masuk dalam jebakan-jebakan asing itu. Apalagi dalam hal pangan. 
Dari aspek input saja, untuk pangan kita hampir US$ 20 miliar dikuasai oleh asing. Maka kita harus melakukan reformasi struktural untuk mengarahkan itu. [E2] 

Sumber: inilah.com

Secara terpisah menjelaskan kepada saya tentang campur tangan asing dan menyesalkan sikap Departemen Perdagangan  mitra kerjanya itu, karena menunda Peraturan Impor terhadap 4 sektor pada tanggal 12 Desember 2008 lalu, dan segera akan mengklarifikasi kebenarannya. 

No comments: