Saturday, December 15, 2012

Politisasi Buruh Jelang Pemilu 2004

Diterbitkan Harian Suara Karya, Tanggal 6 Desember 2012
Opini Oleh: Francisca Sestri. Mahasiswa S3 di Unbor Jakarta.
    
 Hiruk pikuk para politisi sudah mulai dengan sepak terjang mereka terutama yang menjabat di pemerintahan ikut menambah masalah perburuhan terutama terkait upah buruh. Menjelang pemilihan umum (pemilu) 2014 politikus maupun partainya berupaya meningkatkan kemampuan mengantongi suara rakyat, termasuk melalui aksi buruh yang meminta kenaikan upah. Semua ingin menyenangkan hati buruh.
Kelihatan sekali dalam demo buruh akhir-akhir ini, keputusan sepihak pemerintah dalam hal ini Kementerian Tenagakerja dan Transmigrasi bersama perwakilan yang mengatasnamakan buruh, malah memicu kemarahan dunia usaha.
Karena alasan demo atas nama Lembaga Swadaya Masyarakat, buruh berlarut-larut bahkan sampai ikut memprovokasi buruh lain, me-lakukan berbagai aksi demo. Mereka malahan menggedor pintu pabrik, berteriak-teriak menuntut kenaikan upah yang tidak rasional.
Dalam situasi seperti itu, negara benar-benar kelihatan absen demi politik yang irasional. Lapangan kerja terbatas, pasar tenaga kerja dari lulusan sarjana (S1) pun berlebih, namun kaum buruh malah menuntut kenaikan upah minimum provinsi (UMP) lebih dari 25 persen (?) dan pertumbuhan beberapa industri olahan tidak lebih dari 15 persen (Sambutan Menteri Perindustrian 16 Oktober 2012 Pembukaan Pameran Nasional Obat Tradisional).
Menteri Muhaimin Is-kandar juga sebagai ketua umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) memutuskan UMP tahun 2013, menjelang pemilu ada yang naik 25-70 persen seperti, Kota Bekasi menjadi Rp 2.100.000 naik 47,65 persn, Kota Depok menjadi 2.042.000, atau naik 43,40 persen, Kabupaten Bogor menjadi Rp 2.002.000, naik 57,72 persn, Kota Bogor menjadi Rp. 2.002.000, naik 70,50 persen, DKI Jakarta menjadi Rp 2.200.000, naik 43,87 per-sen, Kaltim menjadi Rp 1.762.073, naik 55,76 persen dan seterusnya di kota-kota lain naik tinggi (Per-himpunan Perusahaan dan Asosiasi Kosmetik Indo-nesia, Asosiasi Pemilik Merek Lokal Indonesia Nop 2012).
Sementara, peran Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia yang absen beberapa tahun terakhir ini, terhenyak seperti disengat kalajengking. Mereka mengadakan rapat darurat bersama asosiasi-asosiasi pela-ku usaha semua sektor. Per-temuan tanggal 27 Nopember 2012, dipimpin langsung oleh ketua umum Kadin, intinya dunia usaha belum sepakat atas kenaikan sepihak yang diputuskan oleh pemerintah pusat dan Pemda dengan lembaga atau institusi atas nama buruh atas kenaikan UMP lebih dari kewajaran. Yaitu, melebihi pertumbuh-an industri sebesar 20 persen. Mereka akan melayangkan surat keberatan kepada Kemenakertrans.
Kadin mengecam tindakan sekelompok orang atas nama buruh yang merusak citra ketenagakerjaan itu sendiri karena sweeping ke pabrik-pabrik dan menghasut buruh lainnya yang tidak mau melakukan demo dijalanan. Hal ini, tentu me-rugikan dunia usaha karena harus menutup operasi pa-brik dan tanpa tindakan tegas dari pemerintah. Kadin akan membuka media center untuk menampung ma-sukan anggota dan mencari jalan keluar urusan hambatan industri dan perdagangan.
Kemudian, jalan terakhir baru melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) massal apabila jalan damai yang diupayakan para pelaku usaha tidak diindahkan oleh pembuat sistem pengupahan yang saat ini tidak berjalan, hal ini merupakan kemunduran.
Saat ini pengangguran terbilang tinggi. Situasi ini akan menambah tingkat pengangguran dan mempertinggi kesenjangan. Indeks gini yang mengukur tingkat kesenjangan ekonomi me-ningkat pesat selama pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yodhoyono (SBY). Publikasi Badan Pusat Sta-tistik (2012) di Indonesia meningkat 0,32 (2004) menjadi 0,41 (2011). Artinya total pendapatan 20 persen masyarakat terkaya me-ningkat 42,07 persn (2004) menjadi 48,42 persen (2011). Sebaliknya masyarakat termiskin total penda-patan 40 persen menurun dari 20,8 persen (2004) menjadi 16,85 persen (2011), (Budiman Sudjatmiko, Kompas 5 Nopember 2012).
Kemelut ekonomi, akibat kenaikan harga upah tenaga kerja di Indonesia, apabila tidak diselesaikan secara musyawarah dan mufakat antar pihak dunia usaha, buruh dan pemerintah, maka pada tahun 2013 akan terjadi kesenjangan yang lebih parah lagi jika dibandingkan dengan 2012. Pengangguran akan meningkat dan akibatnya indeks gini makin lebar.
Kekhawatiran di pihak kaum investor dengan adanya kenaikan Upah Minumum Propinsi (UMP) yang lebih tinggi dari pertumbuhan salesnya akan menimbulkan kenaikan beban pokok produksi. Itu, seiring dengan kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) yang sudah lebih dahulu naik.
Langkah-langkah efesiensi telah dilakukan oleh para pelaku usaha baik investor domestik maupun luar negeri, bahkan menjadi pembicaraan ditingkat akademisi apabila terjadi hengkangnya para investor yang merasa tidak diuntungkan. Disinyalir terjadi alih fungsi dari industri olahan ke sektor perdagangan (importir). Hal ini akan mengakibatkan pengurang-an tenaga kerja yang dapat menambah pengangguran.
Sebab itu, diperlukan langkah-langkah untuk mengatasi ini. Diharapkan kebijakan Pemda untuk duduk bersama dengan pelaku usaha, Serikat Pekerja (SP) dan Dinas Ketenagakerjaan. Jangan asal main hantam kromo mengenai sistem perburuhan demi menangkat popularitas menjelang Pemilu 2014.
Selain itu, pemerintah diminta melakukan pengawasan terhadap stabilitas harga barang dan menjamin kepastian hukum bagi buruh yang murni ingin bekarja dan pelaku usaha. Hal ini juga untuk mengurangi masuknya tenaga kerja dari luar negeri (misalnya, Philipine, India yang sudah banyak pekerjanya ditingkat manager di Indonesia).
Tahap selanjutnya, buruh migran dari luar bisa masuk dengan standar upah yang sudah tinggi tersebut, akibatnya buruh-buruh domestik terlempar karena skill mereka lebih rendah. Ini berdampak timbulnya pengangguran. Sebab itu, harus ada segera solusi mengenai upah buruh ini. 

No comments: