Monday, August 12, 2013

INFLASI, SAVING DAN MENURUNYA INVESTASI

Membaca peta perekonomian  dunia yang semakin sulit terprediksi, dimana Eropa dan Amerika Serikat adalah price maker karena menguasai tata ekonomi sebesar 40 persen. Artinya bahwa distribusi pendapatan warga dunia ditentukan oleh sehat dan tidaknya dua benua tersebut.Menurut berita yang dilansir oleh Delegation Of European Union Of Indonesia Maret 2013, hubungan ekonomi diantara mereka berdua juga terbesar di dunia. Maka impor dari negara lain apalgi negara berkembang akan selektif bisa diterima. Dan ketika dua raksasa ini sakit krisis perumahan di Amerika Serikat tahun 2008 dan Yunani dan Siprus 2010 di Eropa, maka dampak perlambatan ekonomi mulai tampak sejak pertengahan tahun 2012.


Asia secara tidak langsung juga mengalami imbas dari krisis keuangan tersebut, namun keberadaan negara-negara maju jilid global antara lain China, Jepang, Taiwan, Hongkong, Singapore, Korea Selatan dan lainnya, sedikit mengobati rasa sakit karena perlambatan ekonomi tersebut.

Lalu bagaimana dengan Indonesia yang kaya SDA dan SDM ini? Tercatat sebagai pengimpor bahan-bahan makanan, sehingga ketika impor bawang putih, bawang merah, daging sapi dan lain-lain tersendat, maka harga-harga barang lainnya ikut menaik dan berjalan hingga saat ini. Tentang lonjakan harga-harga barang pokok tersebut membuat inflasi sebaesar 0,41 persen dari total inflasi Maret 2013 sebesar 0,63 persen atau mencapai 65 persen dari inflasi total selama kuartal pertama (Kompas.com maret 2013).


Impor bahan baku dan  alat-alat produksi yang jumlahnya cukup besar,70 persen dari nilai total jenis impor dan bahkan terstigma sebagai negara industri yang invalid karena sangat tergantung oleh bahan mentah dan setengah jadi dari impor. Meminjam istilah Prof. DR. Masngudi, negara industri yang demikian disebut semu, dan mudah tergoncang oleh instabilitas nilai tukar rupiah terhadap valuta asing. Keadaan ini secara terbuka diakui oleh Kadin Indonesia pada acara Focus Group Discussion  dalam penyusunan platform kebijakan industri nasional, di Hotel Bidakara, Jakarta, 19 Juni 2013.

Perjalanan waktu terus bergulir, kepercayaan masyarakat terhadap keamanan menyimpan dananya di Bank mulai berkurang, bahkan banyak yang melakukan penarikan uang untuk dibelanjakan, semakin membuat inflasi merangkak naik. Kondisi ini akan mempengaruhi Mikro ekonomi karena industri nasional mendapat tekanan biaya produksi tinggi (Upah, Listrik dan BBM) yang pada akhirnya rencana perluasan usaha stagnan atau macet, karena likuiditas Perusahaan terganggu, apalgi suku bunga pinjaman ikut naik?

Dua dilema bagi Bank Indonesia Pertama Saving menurun maka Bank-bank komersial akan menaikan suku bunga simpanan (tabungan, deposito) disisi lain karena harga-harga semua barang termasuk SDM menaik menjadikan cost of production naik, meningkatkan suku bunga pinjaman lebih besar dari suku bunga tabungan akan semakin menurunkan Investasi yang berdampak pada pertumbuhan ekonomi nasional.

Maka pada kondisi sekarang yang masih bisa dilakukan adalah Kementrian Perdagangan melakukan stabilitas harga barang khususnya yang dari impor dan jangka panjang bersama Kemenko Perekonomian ke transformasi Pertanian ke Agrobisnis tidak setengah-setengah misalnya infrastruktur buruk, pupuk mahal dan lain lain. Ke dua BI bisa melakukan himbauan sampai bersahsil agar selisih bunga pinjaman dan bunga tabungan/deposito tidak terlalu lebar, kalau perlu bunga pinjaman tidak naik. Kemudian GWM bisa di naikkan untuk mengurangi uang beredar.

Semoga inflasi pasca Lebaran dan menjelang hutang luar negeri yang jatuh tempo apakah direct import atau bunga obligasi yang dibeli masyarakat negara lain, masih bisa terkendali, dan Pertumbuhan bisa terjaga sekitar 5,9 persen versi Bank Dunia Juli 2013, lebih rendah dari APBN-P 6,2 persen dari PDB Rp.8.700an trilyun (RAPBN-P).