Tuesday, July 13, 2010

Nasionalisme di Era Perdagangan bebas China-ASEAN



Harian Suara Karya, 13 Juli 2010.

Kata nasionalisme sudah tidak asing lagi ditelinga kita, bahkan setiap warga negara dengan fasih menuturkannya, terlebih dijaman keterbukaan saat ini. Para Petinggi negeri ini , para pelaku usaha dan jajarannya lebih getol menyuarakan istilah nasionalisme.
Nasionalisme Fatamorgana.
Pandangan sempit tentang nasionalisme acapkali menyeruak dan gegap gempita, ketika merasa bisa menyuarakan anti asing secara hantam kromo, seakan-akan kita telah memahami benar itu adalah ukuran seseorang berjiwa nasionalis.
Sebagai ilustrasi warganegara Indonesia pernah tersinggung, marah dan reaktif kepada Malaysia yang disinyalir mencuri tari pendet asal pulau Bali. Demonstrasi marak di seantero tanak air, mulai dari turun ke jalan, pembakaran simbol-simbol kenegaraan negara Jiran tersebut maupun melalui media jejaring internet seperti email, blogspot, facebook,twiteer dll yang sangat populer beberapa tahun belakangan ini. Pun demikian perang argumen dan kata-kata kasar dikeluarkan oleh warga negara Malaysia tidak kalah sinisnya sebagai respon atas reaksi keras kita.
Pertanyaan sederhana, apakah sikap dan tindakan tersebut benar-benar yang dimaksud sebagai penganut paham nasionalisme? Mari kita berpikir jernih dan kepala dingin, seandainya rasa bangga kepada negara tumbuh dan mengakar di jiwa kita, semestinya pelecehan yang dilakukan oleh negara tetangga yang sejak sebelum kita merdeka, telah menjadi kepanjangan tangan negara adikuasa untuk memonitor perkembangan Indonesia. Semua tidak terlepas dari campur tangan penyelenggara negara baik pemerintah, lembaga legislatif, lembaga penegak hukum dan masyarakat Indonesia. Melalui pendidikan dan budaya yang memadai, warga negara akan semakin dewasa serta memiliki wawasan luas dalam berbangsa dan bernegara untuk merawat, menghargai dan mencintai aset sendiri. Yang terjadi justru kemunduran, menurut data pemeringkat dunia HDI (Human Development Index) Indonesia turun ke urutan 126 dibawah Vietnam. Gambaran tersebut tersirat dari saudara-saudara kita kurang mampu mengenyam bangku sekolah, alih-alih sampai tingkat sarjana untuk sampai tingkat SMU saja mereka terbeban biaya, jalan keluar yang ditempuh terpaksa menjadi buruh kontrak musiman (outsourching). Program nasionalisasi gas ukuran 3 kg menjadi teror warga kurang mampu yang setiap hari meledak dan memakan korban jiwa. Contoh lain peristiwa Kosambi, Cengkareng beberapa bulan lalu , hanya permasalahan sepele yaitu serempetan antara mobil dan sepeda motor berakibat pembakaran satu komplek perumahan warga yang bertikai dan terjadilah pemanggangan manusia yang tidak berdaya akibat beringasnya warga lain yang merasa benar. Suatu paradoks di jaman sistem komunikasi modern yang mudah diakses dengan media apapun, justru pihak berwajib terlambat melerai perselisihan yang menelan korban jiwa, diduga alasan HAM apabila mengambil sikap represip.
Disisi lain praktik korupsi seperti kasus Bank Century, penggelapan pajak kasus Gayus Tambunan selalu saja terjadi. Praktik-pratik semacam itu semakin marak luas lebar terbentang di negeri yang kaya SDA ini. Apakah perilaku demikian adalah nasionalis serta mengecam negara Jiran bak pahlawan. Sementara para pejabat tersebut menari diatas penderitaan warganya yang tidak mampu mengenyam pendidikan layak, sebagai syarat standar kepegawaian? Dan banyaknya korban akibat ledakan gas ukuran ekonomis tersebut, menunjukkan pelaksanaan program pemerintah dilakukan secara serampangan. Begitu pula pertanyaan pilu yang berkecamuk di hati nurani kita, dimanakah peran negara ketika akan terjadi pembakaran warga terlambat mencegahnya? Ataukah nasionalisme fatamorgana yang sedang tumbuh berkembang di negeri ini.
CAFTA (China ASEAN Free Trade Agreement).
Pasca penandatanganan kerjasama pasar bebas kawasan China dan Asean tahun 2004 oleh pemerintah sebelumnnya. Beberapa kali kajian terhadap kerjasama tersebut telah dilakukan oleh unsur pemerintah yang masih memiliki hati nurani dengan kesimpulan sebagai berikut. Ketika liberalisasi perdagangan kita lakukan secara unilateral pada tahun 1984-1994, melalui kebijakan deregulasi dan debirokratisasi, ternyata dapat meningkatkan perekonomian bangsa. Tetapi ketika liberalisasi Indonesia banyak didasarkan permintaan-prmintaan internasional termasuk IMF, maka perekonomian menjadi terpuruk, bahkan krisis ekonomi yang terjadi sejak 1997, merupakan hasil nyata. Oleh karenanya “guidance” dari pemegang kekuasaan sangat diperlukan sebelum kita melanjutkan perundingan-perundingan FTA, karena para perunding yang terlibat didalamnya diprakarsai oleh negara lain seperti US-Singapore Free Trade Agreement, China- Asean Free Trade Agreement, ASEAN-Japan Free Trade Agreement, ASEAN-India Free Trade Agreement dll. Agar Pemerintah sangat berhati-hati karena keputusan tersebut akan mempertaruhkan kepentingan rakyat banyak dan masa depan perekonomian kita (Edy Putra Irawady, 2004).
Sebagai tindak lanjut kesepakatan G to G tersebut, Pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan N0. 235/PMK.011/2008. Dan berlaku penuh pada tanggal 1 januari 2010. Konsekuensi dari perjanjian ini semua negara anggota memberlakukan impor-ekspor barang dengan biaya masuk nol.
Peran pelaku usaha di Indonesia.
Kajian dan masukan diatas ternyata tidak menyurutkan pemangku kekuasaan, untuk tetap melakukan perundingan kerjasama CAFTA dan membuat pelaku usaha nasional kuatir akan kebanjiran produk negara lain, khususnya produk murah dari China sehingga akan sulit bersaing di pasar negeri sendiri.
Kekuatiran tersebut semakin meresahkan ketika Amerika belum pulih dari krisis keuangan, yang merembet kenegara-negara Eropa dan Asia kecuali China, sehingga ekspor Indonesia sejak tahun 2009 mulai menurun. Pada tahun 2010 disusul krisis Yunani dan mengakibatkan paniknya masyarakat Uni Eropa disebabkan anjloknnya nilai obligasi dan turunnya tingkat kepercayaan terhadap mata uang Euro, sehingga kebijakan yang kurang populer untuk pengamanan ekonomi Eropa diterapkan secara ketat, antara lain efisiensi dibidang fiskal meningkatkan pajak, memangkas tunjangan pegawai dll, otomatis Indonesia yang masih memiliki pertumbuhan PDB positif jauh lebih baik dari negara-negara maju lainnya, yang rata-rata memiliki pertumbuhan negatif, menjadi sasaran ekspor negara lain. Pada tahun 2009 PDB Indonesia 3,5 %, Jerman -3,3, Irlandia -14,3%, Yunani -13,5%, Spanyol – 11,2 %, Portugal -9,4 %, Inggris -11,3% dll (Kompas 14 Juni 2010).
Sinergisitas antara Kementrian terkait dibawah Menko Perekonomian dan pelaku usaha nasional,dilakukan secara alot dan maraton. Pada akhirnya para pihak menyepakati pembahasan perlindungan kebijakan non tarif terhadap 18 sektor industri antara lain alas kaki & sepatu, mainan anak-anak, tekstil & pakaian jadi, besi baja, elektronik, kosmetik, jamu dll khusus impor barang jadi.
Deregulasi dari revisi peraturan sebelumnya yang mengatur perdagangan barang dituangkan dalam Permendag No. 22/M-DAG/PER/5/ 2010 Tentang “Kewajiban Pencatuman Label Pada Barang” dan Permendag No. 23/M-DAG/PER/5/ 2010 Tentang “Ketentuan Impor Produk Tertentu”. Kesepakatan tersebut dinilai beberapa kalangan sebagai langkah maju pemangku kekuasaan dalam perlindungan non tarif bagi industri nasional. Hal ini sangatlah wajar, seperti Uni Eropa baru-baru ini melakukan proteksi non tarif, terhadap ekspor ikan indonesia dengan menerapkan standar uji antibiotik. Namun demikian peran pelaku usaha tidak boleh berhenti sampai disini, perlu mengawal pelaksanaan di lapangan, karena impor ilegal yang merugikan negara masih tetap marak masuk pasar Indonesia, melalui celah-celah yang telah menjadi lahan subur bagi pihak-pihak tertentu di bumi Nusantara ini, sebagai tantangan para pihak yang disebut kaum nasionalis.